Sejarah Kelahiran Teori
Dulu
di saat Garfinkel menerima teori Parsonian dari Harvard, dia juga tengah
belajar pada ahli fenomenologi Alfred Schutz, di New School for Social
Research. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subyektif yang
dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Sampai di sini
teori Schutz, sangat mirip dengan interaksionalisme-simbolis dari George Herbert
Mead. Tetapi, menurut Schutz dunia inter subyektif terdiri dari
realitas-realitas yang sangat berganda, di mana realitas sehari-hari tampil
sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian kepada dunia
sehari-hari yang merupakan common-sense atau diambil begitu saja. Realitas
seperti inilah yang kita terima – menyampingkan setiap keraguan, kecuali
realitas itu dipermasalahkan. Sebagai misal, ketika sedang tidur, biasanya
orang tidak mempersoalkan apakah aliran listrik berhenti. Tetapi jika alarm jam
itu disetel agar berbunyi pukul 6 pagi dan seseorang terjaga oleh bunyi alarm
itu ternyata hari sudah sore, maka faktor kelalaian bisa dibuat sebagai
penjelasan. Prinsip yang sama mengenai penggelapan keraguan (Bracketing doubt)
ini terjadi dalam interaksi sehari-hari antara kita dengan orang lain. Kita
sehari-hari tidak tanggap kepada masalah benar atau tidaknya sesuatu yang kita
sukai, cara kerja sistem moneter, atau realitas lembaga sosial kita.
Realitas common-sense dan eksistensi
sehari-hari itu dapat disebut sebagai kepentingan praktik kita dalam dunia
sosial. Kepentingan praktis ini ditawarkan dengan kepentingan ilmiah atau
teoritis kaum ilmiawan. Teori ilmiah mencoba meneliti dan memahami dunia secara
sistematis. Di sini penggelapan-keraguan tersebut, demi pemeriksaan fenomena
secara teliti, bisa disingkirkan. Menurut Schutz, orang bergerak bukan
berdasarkan teori ilmiah, tetapi kepentingan praktis. Dunia inter subyektif ini
sama-sama dimiliki dengan orang lain yang juga mengalaminya. Pembahasan realitas
common-sense oleh Schutz ini memberi Garfinkel suatu perspektif untuk
melaksanakan studi etnometidologinya, dan menyediakan dasar teoritis bagi
risalat-risalat etnometodologis yang lain. Etnometodologi secara empiris telah
mencoba menunjukkan observasi filosofis yang dilakukan oleh Schutz
Tokoh (Kaitan teori Etnometodologi
dan Fenomenologi dengan pemikiran
Husserl dan Schutz)
Dalam
pemikiran Husserl, fenomenologi adalah Sesuatu yang hanya bisa dipahami melalui
salah satu dari indera individu. Hasil penginderaan ini yang tersusun secara
sistematis dalam kesadaran individu. Husserl menghubungkan kesadaran individu
dengan dunia eksternal, dimana kesadaran tersebut bekerja dan
mentransformasikan persepsi individu dengan obyek-obyek yang bisa dikenali.
Sedang dalam pemikiram Alfred Schutz, dia menghubungkan Filsafat Kesadaran dan
Sosiologi. Schutz menggabungkan Fenomenologi Husserl dan Verstehen Weber dengan
Pemaknaan (awal) individu terhadap situasi dalam kehidupan sehari-hari adalah
sangat penting. Schutz sangat menekankan
definisi situasi individu yang relatif spontan/langsung (tanpa dipengaruhi
pemahaman sebelumnya) terhadap segala sesuatu
Berkaitan
dengan teori etnometodologi dan fenomenologi yang dikemukakan oleh Berger dan
Luckman, dimana teori ini mengkaji tentang apa
dan bagaimana pemahaman individu terhadap fenomena sosial, yang dibangun dari
tipefikasi yang saling bertautan, menciptakan makna-makna tertentu sebagai
pengetahuan umum yang diterima apa adanya, dan dipertukarkan dengan orang lain.
Disini juga fenomena yang terjadi terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Fokus/unit Analisis
Dalam
teori ini Garfinkel mempertimbangkan “fakta-fakta sosial” sebagai fenomena
sosiologis fundamental (Hilbert, 2005). Akan tetapi, fakta-fakta sosial Garfinkel
sangat berbeda dari fakta-fakta sosial Durkheim. Bagi Durkheim, fakta-fakta
sosial eksternal bagi dan bersifat memaksa kepada para individu. Orang-orang
mengadopsi fokus demikian cencerung melihat para aktor dibatasi atau ditentukan
oleh struktur-struktur dan lembaga-lembaga sosial dan mempunyai sedikit atau
atau tidak mampu melakukan pertimbangan independen. Di dalam terminologi
etnometodolog yang kasar, sosiolog demikian cenderung memperlakukan para aktor
seperti “orang dungu yang suka menghakimi”
Disisi lain Alfred Schutz mencoba
melacak pokok-pokok konsep ilmu sosial dari akarnya dalam karateristik
kesadaran yang fundamental, yakni dia menunjukan hubungan antara fenomenologi
transendental Husserl dan Verstehende Soziologie yang dikemukakan Weber. Namun
fokus pokok uraian Schutz, sebagaimana yang juga terdapat dalam beberapa
tulisannya, adalah suatu kritik terhadap naturalisme, yakni suatu refleksi
kritis terhadap kesadaran kehidupan, pemahaman tentang dunia, simbol dan
ide-ide. Dalam konteks ini, pengaruh Husserl dangat nampak. Khusus teori
tentang intensionalitas, konsep intersubjektif dan lebenswelt. Schutz
menjelaskan bahwa esensi dari akal sehat, ada dengan sendirinya, yakni dalam
dunia keseharian- ini merupakan suatu elaborasi Lebenswelt yang dikemukakan
Husserl. Dia juga menggunakan ide Husserl untuk menjelaskan bagaimana kita bisa
mengetahui orang lain dan mampu berkomunikasi dengan mereka. Seseorang hanya
memberikan gambaran bentuknya kepada saya dan bukan pemikirannya. Kesadaran
kehidupannya tidak dapat digambarkan dan memang bukan sesuatu yang dapat
digambarkan. Kesadaran saya hanya menerima adanya beberapa tanda-tanda
kesadaran kehidupannya, pengalaman-pengalamannya terutama persepsi visual,
tindakan-tindakannya dan tindakan-tindakan orang lain atasnya. Beberapa
tanda-tanda yang sudah dibahas oleh Husserl itu disebut dengan suatu sistem
pengontrol, yang pada gilirannya Schutz menyatakan bahwa sumber berbagai sistem
tanda itu pada puncaknya ada dalam bahasa.
ISI TEORI
Fenomenologi
mengkaji tentang apa dan bagaimana pemahaman individu terhadap fenomena sosial,
yang dibangun dari tipefikasi yang saling bertautan, menciptakan makna-makna
tertentu sebagai pengetahuan umum yang diterima apa adanya, dan dipertukarkan
dengan orang lain. Kata Etnometodologi secara literer adalah “Metode” yang
digunakan oleh orang-orang melakukan (dan juga menjelaskan secara rasional)
aktifitas kesehariannya (sehari-hari). Individu tidak selalu memikirkan
(refleksi) atas aktifitasnya, mereka hanya berpikir rasional praktis dalam
beraktifitas keseharian. Garfingkle menekankan bahwa aktifitas keseharian
individu dengan rasional praktis ini merupakan kajian utama Sosiologi, bukan
kondisi diluar individu yang koersif (fakta Sosial) dan juga bukan hasil
interpretasi dalam interaksi antar individu (Interaksionisme Simbolik). Kajian Etnometodologi berkisar
pada aktifitas sehari-hari, seperti arisan.
Etnometodologi merupakan
pengembangan dari fenomenologi. Yang dimana Fenomenologi terjadi dengan apa
yang dipikirkan individu (kesadaran apa adanya), dan Etnometodologi merupakan hasil
dari kesadaran dalam aktifitas sehari-hari. Etnometodologi Mengkaji berbagai aktifitas individu dalam
keseharian dengan memahami rasional praktis (kesadaran apa adanya) terhadap
berbagai situasi-kondisi yang medorong aktifitas tersebut. Suasana ngobrol
antar pembeli di angkringan sangat menarik dikaji dalam tradisi Etnometodologi.
Etnometodologi mengkaji bagaimana individu memberikan penjelasan praktis atas
aktifitas kesehariannya dan bagaiman orang lain menerima atau menolaknya.
Accounting
membawa Etnometodologi mengkaji berbagai bentuk percakapan yang terjadi secara
spontan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu percakapan di ruang makan, di kelas,
di toko buku, supermarket dan sebagainya. Etnometodologi juga mengkaji bentuk
komunikasi non-verbal yang disebut “Indexical Expressions”, dalam kehidupan sehari-hari
Awalnya, Grafingkle mengkaji berbagai bentuk aktifitas dan percakapan informal
kehidupan sehari-hari. Beberapa ahli Etnometodologi berikutnya, mengembangkan dengan
mengkaji aktifitas individu dalam Institusi resmi: Di pengadilan, Sidang Parlemen,
Kantor Polisidst. Kajian ini menitikberatkan pada bagaimana para pegawai(official)
beraktifitas sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Salah satu bentuk ‘Account’adalah
manifestasi dalam bahasa verbal. Analisis percakapan lahir karena percakapan dipahami sebagai
aktifitas interaktif yang stabil dan tersusun dengan berbagai material tertentu.
Analisis percakapan juga dipahami sebagai
bentuk dasar dari hubungan interpersonal (antar individu), dalam suatu setting
sosial tertentu
Menurut
Garfinkel ungkapan obyektif sulit diterapkan dalam (sebagian besar) percakapan
informal, tetapi ungkapan itu esensil bagi ilmu pengetahuan. Seni ditandai oleh
ungkapan indeksikal, sedang ilmu bertumpu pada ungkapan obyektif. Di sinilah
sosiologi terperangkap dalam dilema. Sebagai ilmu, sosiologi mencoba memakai
ungkapan obyektif, tetapi dia menindih penggunaan ungkapan ideksikal
sehari-hari dari subyek yang dipelajari. Kedua, Garfinkel menyatakan bahwa para
sosiolog belum menganggap penjelasan “tindakan praktis” itu penting.. Ketiga,
di saat menganailsa tindakan, para sosiolog harus sadar bahwa tindakan itu
terjadi dalam konteks yang lebih luas. Setiap tindakan punya sejarah yang dapat
ditelusuri pada konteks lain. Hal ini berlaku bagi tindakan yang berulang
maupun yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Pengulangan peristiwa
sehari-hari melahirkan terjadinya penggelapan keragu-raguan terhadap
realitasnya.
Etnometodologi Garfinkel menantang
konsep dasar (sosiologis) mengenai keteraturan. Tampaknya dia setuju bahwa
dalam peristiwa sosial hanya seidikit peristiwa yang teratur. Keteraturan yang
telah ditetapkan itu dibuat sesuai dengan norma-norma yang membimbing bagaimana
manusia menganngap dunia sosial ini. Proses memahami keteraturan dunia sosial
itu akan menjadi jelas hanya di saat realitas tadi dipertanyakan. Ilustrasi
proses ini dapat dilihat dari analisa percakapan informal yang menunjukkan
bagaimana menagkap pengertian dari apa yang sebenarnya sedang dikatakan.
Berger
dan Luckman (1966:1) meringkas teori mereka dengan meyatakan “realitas
terbentuk secara sosial” dan sosiologi ilmu pengetahuan (sociology of
knowledge) harus menganalisa proses bagaimana hal itu terjadi. Mereka mengakui
realitas obyektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas yang berkaitan
dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemampuan kita (sebab ia tidak
dapat dienyahkan)”. Menurut Berger dan Luckman kita semua mencari pengetahuan
atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karateristik yang
khusus” dalam kehidupan sehari-hari kita. Sosiologi yang terlibat dalam
pencarian “pengetahuan” dan “realitas” yang lebih khusus. Yang berada di
tengah-tengah; diantara orang awam dan filosof. Orang awam “mengetahui”
realitasnya tanpa bersusah payah menggunakan analisa sistematis. Di pihak lain,
para filosof dipaksa untuk mengetahui apakah pengetahuan itu valid atau tidak.
Kepada para sosiolog tidak bisa disodorkan pertanyaan filsafat seperti apa
sebenarnya yang riil, Sebaliknya pertanyaan itu harus terpusat pada soal
bagaimana realitas sosial terjadi, terlepas apapun validitasnya. Para sosiolog
tidak memperdebatkan apakah kursi benar-benar benar-benar kursi atau keluarga
benar-benar keluarga; label yang demikian mereka ambil begitu saja, tanpa
dipertanyakan. Mereka menerima berbagai realitas masyarakat yang nyata dan dari
sinilah analisa itu dilanjutkan. Berger setuju dengan pernyataan fenomenologis
bahwa terdapat realits berganda daripada hanya suatu realitas tunggal. Berger
bersama dengan Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas kehidupan sehari-hari
yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang lebih penting. Realitas
ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan terpola; biasanya diterima
begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typefied) realitas sama-sama dimiliki
dengan orang lain. Akan tetapi berbeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan
realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif.
Manusia merupakan instrumen dalam penciptakan realitas sosial yang obyekti
melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses
internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang
dialektis, di mana terdapat tesa, anti tesa dan sintesa, Berger melihat
masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.
Percakapan informal lebih banyak
menggunakan ungkapan indeksikal ketimbang ungkapan obyektif. Dalam percakapan
sehari-hari banyak hal yang dibiarkan tanpa penjelasan terperinci sehinga yang
mendengar harus “menambahkan” berbagai bahan agar bisa memahami percakapan itu.
Dalam percakapan sebenarnya ada perbedaan antara apa yang benar-benar diucapkan
dengan apa yang diperbincangkan. Dengan kata lain, orang lebih banyak berbicara
dengan ungkapan indeksikal ketimbang dengan ungkapan obyektif. Dalam percakapan
terdapat saling kesepakatan terhadap kata-kata yang benar-benar diucapkan,
komunikasi yang diterima-begitu saja dan saling dimiliki inilah yang menarik
bagi para ahli metodologi itu.
Realitas sosial. Dalam
Fenomenologi terdapat istilah “Lebenswelt”(‘life-world’atau ‘Dunia
Kehidupan’) yang terdiri dari dunia atau semesta yang rumit dan lengkap,
termasuk lingkungan fisik, lingkungan sosial, interaksi antar manusia
(intersubyektifitas) dan nilai-nilai yang dihayati. Lebenswelt merupakan
realitas sosial sebagaimana dipahami dan dianut oleh orang-orang biasa (orang
awam) dalam kehidupanya sehari-hari
Berger mengungkapkan
bahwa Tugas para sosiolog adalah untuk menemukan hakikat masyarakat dibalik
gejala-gejala sosial dari pengalaman dan pemahaman orang-orang awam terhadap
realitas sosialnya dalam kehidupan keseharian. Realitas tercipta dalam
pengalaman dan pemahaman inter-subyektif antar individu secara terus menerus
dalam sebuah interaksi sosial khususnya lewat media bahasa .
Trilogi realitas sosial.
Realitas sosial tercipta dan terpelihara dalam relasi dialektis antar individu
dan dunia disekitarnya. Upaya memahami realitas dilakukan dengan melihat proses
interaksi dialektis antara diri (individu) dan dunia kenyataan
sosio-kulturalnya yang berlangsung terus menerus tanpa akhir tersebut. Proses
dialektika ini dapat dipahami dalam tiga momen simultan:
a. Eksternalisasi
(proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia). Eksternalisasi dipahami
sebagai proses penciptaan realitas sosial oleh semua individu bersama-sama. Perlu dipahami, bahwa
setiap individu yang terlibat mengalami proses sosialisasi yang berbeda-beda
sehingga memiliki pemahaman tentang masyarakat yang berbeda pula. Interaksi antar individu
dan juga dengan dunia sosio-kulturalnya ini dipandang sebagai proses penciptaan
realitas sosial
b. Obyektivasi
(proses interaksi sosial dalam dunia intersubyketif yang dilembagakan atau
mengalami institusionalisasi). Realitas sosial yang tercipta dalam Eksternalisasi secara berangsur-ansur terlembagakan dalam struktur sosial suatu masyarakat. Proses pelembagaan ini dapat pula sebagai upaya pelepasan diri realitas sosial dari individu-individu penciptanya. Realitas sosial yang terlembagakan tidak lagi dipengaruhi dan diintervensi oleh individu dalam masyarakat
c. Internalisasi
(proses individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial dimana ia menjadi anggotanya). Proses selanjutnya, setelah realitas
sosial terlembagakan dalam struktur sosial, individu-individu memahami dan
menghayatinya sebagai obyek independent.
Proses
pemahaman ini yang disebut sebagai internalisasi oleh individu terhadap
realitas sosial. Masing-masing
individu mengalami internalisasi yang beragam sehingga eksternalisasi mereka
pun beraneka macam pula
Dua
hakikat manusia
Masyarakat
sebagai entitas yang independen, yang memiliki aturan perkembangan sendiri,
yang seolah-olah tidak bergantung terhadap perubahan individu, Namun masyarakat
adalah hasil kreasi individu yang tidak bisa lepas dari sikap dan tindakan
individu
Masyarakat
sebagai realitas obyektif
Institusionalisasi atau Pelembagaan. Aktifitas
individu yang dilakukan bersama dan terus menerus berubah pelan-pelan menjadi
kebiasaan hingga aturan umum atau tradisi yang tidak dipertanyakan lagi oleh
individu lainnya. Suatu yang telah terlembaga menuntut setiap individu
mengikutinya tanpa terkecuali. Contoh: Tradisi, Peran Sosial dst.
Masyarakat
seb realitas subyekrif
Internalisasi Melalui sosialisasi dalam berbagai
lembaga sosial yang ada. Individu mencoba memahami kebiasaan, norma, aturan
sosial yang terlembaga dalam masyarakatnya. Melalui internalisasi, struktur
sosial mengarahkan perkembangan sosial individu untuk sepenuhnya menjadi bagian
dari masyarakat
Kelemahan/Kekurangan Teori (Diluar rutinitas kehidupan sosial
sehari-hari)
Dalam
berbagai hal teori Etnometodologi mirip dengan teori dramaturgi yang
dikemukakan oleh Goffman dan interaksionalisme simbolik Blumer.
Etnometodologi juga merupakan evaluasi
orientasi teoritis yang agak radikal.
Gambaran manusia Garfinkel sangat
mirip dengan Goffman. Seperti diketahui, bagi Goffman manusia sangat tertarik
untuk mengatur pesan-pesan yang mereka berikan, yang dalam melakukan itu
dibimbing oleh kebijaksanaan. Goffman menganalisa manusia ketika mereka
bertindak dalam tindakan sehari-hari dan dalam kegiatan-kegiatan rutin. Manusia
juga dipelajari, dalam situasi sehari-hari dan rutin ketika mereka memelihara
realitas melalui pemahaman yang tidak
diucapkan. Berbeda dengan kebijakan Goffman, Garfinkel tertarik dengan
masalah pemahaman yang tak usah diucapkan (apa yang diketahui oleh seseorang
dan sadar bahwa orang lain juga mengetahuinya). Baik manusia Goffman maupun
Garfinkel bertipe rasional (berorientasi-tujuan), kesamaan ini tidak ada dalam
teori fungsionalisme dan teori pertukaran. Walaupan Garfinkel melihat perilaku
manusia “rasional” tetapi yang paling penting bagi para sosiolog ialah
rasionalitas praktis sehari-hari yang non ilmiah atau rasionalitas teoritis
sehari-hari.
Etnometodologi juga disebut sebagai
“sosiologi absurd”, menelusuri isu apakah manusia merupakan makhluk bebas atau
sudah ditentukan sebelumnya. Berbeda dengan Goffman, Blumer, dan Garfinkel,
Berger tidak mengabaikan atau menolak arti penting struktur bagi analisa
sosiologis. Dalam menggunakan konsep-konsep teoritis yang struktural dan
“insight” teoritis, Berger mampu bergerak melampaui masalah-masalah
mikrososiologis. Sejarah menjadi sumber data penting yang menolong menguraikan
perkembangan dan perubahan struktur sosial modern. Akan tetapi Berger dan teori
humanistik yang telah disinggung di atas melihat arti penting memperlakukan
inti masalah sosiologi yaitu tindakan manusia dalam struktur sosial – tanpa
kehilangan sedikitpun segala sesuatu yang terdapat disana. Berger juga memiliki
asumsi-asumsi sosiologi humanis dan interpretatif lainnya tentang hakikat
manusia dan hakikat masyarakat.
Perlu ditekankan bahwa bagi
Garfinkel, masyarakat tidak memiliki realitas yang berpisah dari kemampuan
orang yang untuk meyakinkan orang lain bahwa realitas tersebut berada diluar.
Realitas merupakan usaha yang sulit, yang membutuhkan suatu proses pembentukan
dan pemeliharaan yang konsen. Sebagaimana komentar Turner (1947:330) “bukan
rasa keteraturan yang membuat masyarakat menjadi mungkin, tetapi kemampuan
manusia untuk mencipta secara aktif dan kontiyu dan menggunakan aturan-aturan
untuk saling meyakini bahwa dunia yang riel memang benar ada”.
Relevansi Teori untuk Analisis
Masyarakat Kontemporer
Kata Etnometodologi secara literer adalah
“Metode” yang digunakan oleh orang-orang melakukan (dan juga menjelaskan secara
rasional) aktifitas kesehariannya (sehari-hari). Dari pengertian ini dapat kita
lihat dalam dunia sekarang bahwasanya seseorang memiliki metode sendiri dalam
menjelaskan aktifitasnya. Yang kini sering terjadi adalah dalam media sosial
misal, instagram. Disini orang dapat menjelaskan aktifitasnya melalui melalui
foto dan status yang mereka unggah atau upload di setiap aktivitasnya. Jauh
berbeda dengan zaman dulu, dimana manusia dalam aktivitasnya
hanya sekedar melakukan aktvitas tanpa perlu mengabarkan/memberitakan
aktivitasnya itu kepada orang lain terlebih aktivitas yang kecil seperti
mencuci mobil, merapikan rumah, berbelanja, dll. Pada saat itu aktivitas yang
bersifat pribadi hanya perlu diketahui oleh orang-orang di sekitarnya saja dan
akan terlihat kurang pantas bila diperlihatkan kepada orang lain.
Contoh
dalam kehidupan sehari-hari dalam teori fenomenologi, yaitu bisa dilihat pada
zaman sekarang, dimana anak muda tidak lagi malu berhubungan dengan lawan
jenis. Bahkan dalam hal hamil diluar nikahpun bukan menjadi hal yang tabu lagi.
Seperti dalam kabupaten gunungkidul, tepatnya kecamatan semanu,dalam pengamatan
saya disini kasus hamil diluar nikah banyak terjadi dikalangan anak muda. Hal ini
merupakan suatu fenomena atau realita sosial yang nampak pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson,
D. P.1989. Teori Sosiologi Klasik dan
Modern Jilid 2. Jakarta: Gramedia
Poloma.
2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta:
Rajawali Pers
Ritzer.
2014. Teori Sosiologi dari Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar