Minggu, 17 Januari 2016

Etnometodologi dan Fenomenologi


Sejarah Kelahiran Teori
Dulu di saat Garfinkel menerima teori Parsonian dari Harvard, dia juga tengah belajar pada ahli fenomenologi Alfred Schutz, di New School for Social Research. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subyektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Sampai di sini teori Schutz, sangat mirip dengan interaksionalisme-simbolis dari George Herbert Mead. Tetapi, menurut Schutz dunia inter subyektif terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda, di mana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian kepada dunia sehari-hari yang merupakan common-sense atau diambil begitu saja. Realitas seperti inilah yang kita terima – menyampingkan setiap keraguan, kecuali realitas itu dipermasalahkan. Sebagai misal, ketika sedang tidur, biasanya orang tidak mempersoalkan apakah aliran listrik berhenti. Tetapi jika alarm jam itu disetel agar berbunyi pukul 6 pagi dan seseorang terjaga oleh bunyi alarm itu ternyata hari sudah sore, maka faktor kelalaian bisa dibuat sebagai penjelasan. Prinsip yang sama mengenai penggelapan keraguan (Bracketing doubt) ini terjadi dalam interaksi sehari-hari antara kita dengan orang lain. Kita sehari-hari tidak tanggap kepada masalah benar atau tidaknya sesuatu yang kita sukai, cara kerja sistem moneter, atau realitas lembaga sosial kita.
            Realitas common-sense dan eksistensi sehari-hari itu dapat disebut sebagai kepentingan praktik kita dalam dunia sosial. Kepentingan praktis ini ditawarkan dengan kepentingan ilmiah atau teoritis kaum ilmiawan. Teori ilmiah mencoba meneliti dan memahami dunia secara sistematis. Di sini penggelapan-keraguan tersebut, demi pemeriksaan fenomena secara teliti, bisa disingkirkan. Menurut Schutz, orang bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah, tetapi kepentingan praktis. Dunia inter subyektif ini sama-sama dimiliki dengan orang lain yang juga mengalaminya. Pembahasan realitas common-sense oleh Schutz ini memberi Garfinkel suatu perspektif untuk melaksanakan studi etnometidologinya, dan menyediakan dasar teoritis bagi risalat-risalat etnometodologis yang lain. Etnometodologi secara empiris telah mencoba menunjukkan observasi filosofis yang dilakukan oleh Schutz
Tokoh (Kaitan teori Etnometodologi dan Fenomenologi  dengan pemikiran Husserl dan Schutz)
Dalam pemikiran Husserl, fenomenologi adalah Sesuatu yang hanya bisa dipahami melalui salah satu dari indera individu. Hasil penginderaan ini yang tersusun secara sistematis dalam kesadaran individu. Husserl menghubungkan kesadaran individu dengan dunia eksternal, dimana kesadaran tersebut bekerja dan mentransformasikan persepsi individu dengan obyek-obyek yang bisa dikenali. Sedang dalam pemikiram Alfred Schutz, dia menghubungkan Filsafat Kesadaran dan Sosiologi. Schutz menggabungkan Fenomenologi Husserl dan Verstehen Weber dengan Pemaknaan (awal) individu terhadap situasi dalam kehidupan sehari-hari adalah sangat penting.  Schutz sangat menekankan definisi situasi individu yang relatif spontan/langsung (tanpa dipengaruhi pemahaman sebelumnya) terhadap segala sesuatu
            Berkaitan dengan teori etnometodologi dan fenomenologi yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman, dimana teori ini mengkaji tentang apa dan bagaimana pemahaman individu terhadap fenomena sosial, yang dibangun dari tipefikasi yang saling bertautan, menciptakan makna-makna tertentu sebagai pengetahuan umum yang diterima apa adanya, dan dipertukarkan dengan orang lain. Disini juga fenomena yang terjadi terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Fokus/unit Analisis
Dalam teori ini Garfinkel mempertimbangkan “fakta-fakta sosial” sebagai fenomena sosiologis fundamental (Hilbert, 2005). Akan tetapi, fakta-fakta sosial Garfinkel sangat berbeda dari fakta-fakta sosial Durkheim. Bagi Durkheim, fakta-fakta sosial eksternal bagi dan bersifat memaksa kepada para individu. Orang-orang mengadopsi fokus demikian cencerung melihat para aktor dibatasi atau ditentukan oleh struktur-struktur dan lembaga-lembaga sosial dan mempunyai sedikit atau atau tidak mampu melakukan pertimbangan independen. Di dalam terminologi etnometodolog yang kasar, sosiolog demikian cenderung memperlakukan para aktor seperti “orang dungu yang suka menghakimi”
            Disisi lain Alfred Schutz mencoba melacak pokok-pokok konsep ilmu sosial dari akarnya dalam karateristik kesadaran yang fundamental, yakni dia menunjukan hubungan antara fenomenologi transendental Husserl dan Verstehende Soziologie yang dikemukakan Weber. Namun fokus pokok uraian Schutz, sebagaimana yang juga terdapat dalam beberapa tulisannya, adalah suatu kritik terhadap naturalisme, yakni suatu refleksi kritis terhadap kesadaran kehidupan, pemahaman tentang dunia, simbol dan ide-ide. Dalam konteks ini, pengaruh Husserl dangat nampak. Khusus teori tentang intensionalitas, konsep intersubjektif dan lebenswelt. Schutz menjelaskan bahwa esensi dari akal sehat, ada dengan sendirinya, yakni dalam dunia keseharian- ini merupakan suatu elaborasi Lebenswelt yang dikemukakan Husserl. Dia juga menggunakan ide Husserl untuk menjelaskan bagaimana kita bisa mengetahui orang lain dan mampu berkomunikasi dengan mereka. Seseorang hanya memberikan gambaran bentuknya kepada saya dan bukan pemikirannya. Kesadaran kehidupannya tidak dapat digambarkan dan memang bukan sesuatu yang dapat digambarkan. Kesadaran saya hanya menerima adanya beberapa tanda-tanda kesadaran kehidupannya, pengalaman-pengalamannya terutama persepsi visual, tindakan-tindakannya dan tindakan-tindakan orang lain atasnya. Beberapa tanda-tanda yang sudah dibahas oleh Husserl itu disebut dengan suatu sistem pengontrol, yang pada gilirannya Schutz menyatakan bahwa sumber berbagai sistem tanda itu pada puncaknya ada dalam bahasa.
ISI TEORI
Fenomenologi mengkaji tentang apa dan bagaimana pemahaman individu terhadap fenomena sosial, yang dibangun dari tipefikasi yang saling bertautan, menciptakan makna-makna tertentu sebagai pengetahuan umum yang diterima apa adanya, dan dipertukarkan dengan orang lain. Kata Etnometodologi secara literer adalah “Metode” yang digunakan oleh orang-orang melakukan (dan juga menjelaskan secara rasional) aktifitas kesehariannya (sehari-hari). Individu tidak selalu memikirkan (refleksi) atas aktifitasnya, mereka hanya berpikir rasional praktis dalam beraktifitas keseharian. Garfingkle menekankan bahwa aktifitas keseharian individu dengan rasional praktis ini merupakan kajian utama Sosiologi, bukan kondisi diluar individu yang koersif (fakta Sosial) dan juga bukan hasil interpretasi dalam interaksi antar individu (Interaksionisme Simbolik). Kajian Etnometodologi berkisar pada aktifitas sehari-hari, seperti arisan.
Etnometodologi merupakan pengembangan dari fenomenologi. Yang dimana Fenomenologi terjadi dengan apa yang dipikirkan individu (kesadaran apa adanya), dan Etnometodologi merupakan hasil dari kesadaran dalam aktifitas sehari-hari. Etnometodologi  Mengkaji berbagai aktifitas individu dalam keseharian dengan memahami rasional praktis (kesadaran apa adanya) terhadap berbagai situasi-kondisi yang medorong aktifitas tersebut. Suasana ngobrol antar pembeli di angkringan sangat menarik dikaji dalam tradisi Etnometodologi. Etnometodologi mengkaji bagaimana individu memberikan penjelasan praktis atas aktifitas kesehariannya dan bagaiman orang lain menerima atau menolaknya.
Accounting membawa Etnometodologi mengkaji berbagai bentuk percakapan yang terjadi secara spontan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu percakapan di ruang makan, di kelas, di toko buku, supermarket dan sebagainya. Etnometodologi juga mengkaji bentuk komunikasi non-verbal yang disebut “Indexical Expressions”, dalam kehidupan sehari-hari Awalnya, Grafingkle mengkaji berbagai bentuk aktifitas dan percakapan informal kehidupan sehari-hari. Beberapa ahli Etnometodologi berikutnya, mengembangkan dengan mengkaji aktifitas individu dalam Institusi resmi: Di pengadilan, Sidang Parlemen, Kantor Polisidst. Kajian ini menitikberatkan pada bagaimana para pegawai(official) beraktifitas sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Salah satu bentuk ‘Account’adalah manifestasi dalam bahasa verbal. Analisis percakapan lahir karena percakapan dipahami sebagai aktifitas interaktif yang stabil dan tersusun dengan berbagai material tertentu. Analisis percakapan juga dipahami sebagai bentuk dasar dari hubungan interpersonal (antar individu), dalam suatu setting sosial tertentu
Menurut Garfinkel ungkapan obyektif sulit diterapkan dalam (sebagian besar) percakapan informal, tetapi ungkapan itu esensil bagi ilmu pengetahuan. Seni ditandai oleh ungkapan indeksikal, sedang ilmu bertumpu pada ungkapan obyektif. Di sinilah sosiologi terperangkap dalam dilema. Sebagai ilmu, sosiologi mencoba memakai ungkapan obyektif, tetapi dia menindih penggunaan ungkapan ideksikal sehari-hari dari subyek yang dipelajari. Kedua, Garfinkel menyatakan bahwa para sosiolog belum menganggap penjelasan “tindakan praktis” itu penting.. Ketiga, di saat menganailsa tindakan, para sosiolog harus sadar bahwa tindakan itu terjadi dalam konteks yang lebih luas. Setiap tindakan punya sejarah yang dapat ditelusuri pada konteks lain. Hal ini berlaku bagi tindakan yang berulang maupun yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Pengulangan peristiwa sehari-hari melahirkan terjadinya penggelapan keragu-raguan terhadap realitasnya. 
            Etnometodologi Garfinkel menantang konsep dasar (sosiologis) mengenai keteraturan. Tampaknya dia setuju bahwa dalam peristiwa sosial hanya seidikit peristiwa yang teratur. Keteraturan yang telah ditetapkan itu dibuat sesuai dengan norma-norma yang membimbing bagaimana manusia menganngap dunia sosial ini. Proses memahami keteraturan dunia sosial itu akan menjadi jelas hanya di saat realitas tadi dipertanyakan. Ilustrasi proses ini dapat dilihat dari analisa percakapan informal yang menunjukkan bagaimana menagkap pengertian dari apa yang sebenarnya sedang dikatakan.
Berger dan Luckman (1966:1) meringkas teori mereka dengan meyatakan “realitas terbentuk secara sosial” dan sosiologi ilmu pengetahuan (sociology of knowledge) harus menganalisa proses bagaimana hal itu terjadi. Mereka mengakui realitas obyektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemampuan kita (sebab ia tidak dapat dienyahkan)”. Menurut Berger dan Luckman kita semua mencari pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karateristik yang khusus” dalam kehidupan sehari-hari kita. Sosiologi yang terlibat dalam pencarian “pengetahuan” dan “realitas” yang lebih khusus. Yang berada di tengah-tengah; diantara orang awam dan filosof. Orang awam “mengetahui” realitasnya tanpa bersusah payah menggunakan analisa sistematis. Di pihak lain, para filosof dipaksa untuk mengetahui apakah pengetahuan itu valid atau tidak. Kepada para sosiolog tidak bisa disodorkan pertanyaan filsafat seperti apa sebenarnya yang riil, Sebaliknya pertanyaan itu harus terpusat pada soal bagaimana realitas sosial terjadi, terlepas apapun validitasnya. Para sosiolog tidak memperdebatkan apakah kursi benar-benar benar-benar kursi atau keluarga benar-benar keluarga; label yang demikian mereka ambil begitu saja, tanpa dipertanyakan. Mereka menerima berbagai realitas masyarakat yang nyata dan dari sinilah analisa itu dilanjutkan. Berger setuju dengan pernyataan fenomenologis bahwa terdapat realits berganda daripada hanya suatu realitas tunggal. Berger bersama dengan Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan terpola; biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typefied) realitas sama-sama dimiliki dengan orang lain. Akan tetapi berbeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam penciptakan realitas sosial yang obyekti melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang dialektis, di mana terdapat tesa, anti tesa dan sintesa, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.
            Percakapan informal lebih banyak menggunakan ungkapan indeksikal ketimbang ungkapan obyektif. Dalam percakapan sehari-hari banyak hal yang dibiarkan tanpa penjelasan terperinci sehinga yang mendengar harus “menambahkan” berbagai bahan agar bisa memahami percakapan itu. Dalam percakapan sebenarnya ada perbedaan antara apa yang benar-benar diucapkan dengan apa yang diperbincangkan. Dengan kata lain, orang lebih banyak berbicara dengan ungkapan indeksikal ketimbang dengan ungkapan obyektif. Dalam percakapan terdapat saling kesepakatan terhadap kata-kata yang benar-benar diucapkan, komunikasi yang diterima-begitu saja dan saling dimiliki inilah yang menarik bagi para ahli metodologi itu.
Realitas sosial. Dalam Fenomenologi terdapat istilah “Lebenswelt”(‘life-world’atau ‘Dunia Kehidupan’) yang terdiri dari dunia atau semesta yang rumit dan lengkap, termasuk lingkungan fisik, lingkungan sosial, interaksi antar manusia (intersubyektifitas) dan nilai-nilai yang dihayati. Lebenswelt merupakan realitas sosial sebagaimana dipahami dan dianut oleh orang-orang biasa (orang awam) dalam kehidupanya sehari-hari
Berger mengungkapkan bahwa Tugas para sosiolog adalah untuk menemukan hakikat masyarakat dibalik gejala-gejala sosial dari pengalaman dan pemahaman orang-orang awam terhadap realitas sosialnya dalam kehidupan keseharian. Realitas tercipta dalam pengalaman dan pemahaman inter-subyektif antar individu secara terus menerus dalam sebuah interaksi sosial khususnya lewat media bahasa .
Trilogi realitas sosial. Realitas sosial tercipta dan terpelihara dalam relasi dialektis antar individu dan dunia disekitarnya. Upaya memahami realitas dilakukan dengan melihat proses interaksi dialektis antara diri (individu) dan dunia kenyataan sosio-kulturalnya yang berlangsung terus menerus tanpa akhir tersebut. Proses dialektika ini dapat dipahami dalam tiga momen simultan:
a.       Eksternalisasi (proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia). Eksternalisasi dipahami sebagai proses penciptaan realitas sosial oleh semua individu bersama-sama. Perlu dipahami, bahwa setiap individu yang terlibat mengalami proses sosialisasi yang berbeda-beda sehingga memiliki pemahaman tentang masyarakat yang berbeda pula. Interaksi antar individu dan juga dengan dunia sosio-kulturalnya ini dipandang sebagai proses penciptaan realitas sosial
b.      Obyektivasi (proses interaksi sosial dalam dunia intersubyketif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi). Realitas sosial yang tercipta dalam Eksternalisasi secara berangsur-ansur terlembagakan dalam struktur sosial suatu masyarakat. Proses pelembagaan ini dapat pula sebagai upaya pelepasan diri realitas sosial dari individu-individu penciptanya. Realitas sosial yang terlembagakan tidak lagi dipengaruhi dan diintervensi oleh individu dalam masyarakat
c.       Internalisasi (proses individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial dimana ia menjadi anggotanya). Proses selanjutnya, setelah realitas sosial terlembagakan dalam struktur sosial, individu-individu memahami dan menghayatinya sebagai obyek independent. Proses pemahaman ini yang disebut sebagai internalisasi oleh individu terhadap realitas sosial. Masing-masing individu mengalami internalisasi yang beragam sehingga eksternalisasi mereka pun beraneka macam pula

Dua hakikat manusia
Masyarakat sebagai entitas yang independen, yang memiliki aturan perkembangan sendiri, yang seolah-olah tidak bergantung terhadap perubahan individu, Namun masyarakat adalah hasil kreasi individu yang tidak bisa lepas dari sikap dan tindakan individu
Masyarakat sebagai realitas obyektif
Institusionalisasi atau Pelembagaan. Aktifitas individu yang dilakukan bersama dan terus menerus berubah pelan-pelan menjadi kebiasaan hingga aturan umum atau tradisi yang tidak dipertanyakan lagi oleh individu lainnya. Suatu yang telah terlembaga menuntut setiap individu mengikutinya tanpa terkecuali. Contoh: Tradisi, Peran Sosial dst.
Masyarakat seb realitas subyekrif
Internalisasi Melalui sosialisasi dalam berbagai lembaga sosial yang ada. Individu mencoba memahami kebiasaan, norma, aturan sosial yang terlembaga dalam masyarakatnya. Melalui internalisasi, struktur sosial mengarahkan perkembangan sosial individu untuk sepenuhnya menjadi bagian dari masyarakat

Kelemahan/Kekurangan Teori  (Diluar rutinitas kehidupan sosial sehari-hari)
Dalam berbagai hal teori Etnometodologi mirip dengan teori dramaturgi yang dikemukakan oleh Goffman dan interaksionalisme simbolik Blumer. Etnometodologi  juga merupakan evaluasi orientasi teoritis yang agak radikal.
            Gambaran manusia Garfinkel sangat mirip dengan Goffman. Seperti diketahui, bagi Goffman manusia sangat tertarik untuk mengatur pesan-pesan yang mereka berikan, yang dalam melakukan itu dibimbing oleh kebijaksanaan. Goffman menganalisa manusia ketika mereka bertindak dalam tindakan sehari-hari dan dalam kegiatan-kegiatan rutin. Manusia juga dipelajari, dalam situasi sehari-hari dan rutin ketika mereka memelihara realitas melalui pemahaman yang tidak diucapkan. Berbeda dengan kebijakan Goffman, Garfinkel tertarik dengan masalah pemahaman yang tak usah diucapkan (apa yang diketahui oleh seseorang dan sadar bahwa orang lain juga mengetahuinya). Baik manusia Goffman maupun Garfinkel bertipe rasional (berorientasi-tujuan), kesamaan ini tidak ada dalam teori fungsionalisme dan teori pertukaran. Walaupan Garfinkel melihat perilaku manusia “rasional” tetapi yang paling penting bagi para sosiolog ialah rasionalitas praktis sehari-hari yang non ilmiah atau rasionalitas teoritis sehari-hari.
            Etnometodologi juga disebut sebagai “sosiologi absurd”, menelusuri isu apakah manusia merupakan makhluk bebas atau sudah ditentukan sebelumnya. Berbeda dengan Goffman, Blumer, dan Garfinkel, Berger tidak mengabaikan atau menolak arti penting struktur bagi analisa sosiologis. Dalam menggunakan konsep-konsep teoritis yang struktural dan “insight” teoritis, Berger mampu bergerak melampaui masalah-masalah mikrososiologis. Sejarah menjadi sumber data penting yang menolong menguraikan perkembangan dan perubahan struktur sosial modern. Akan tetapi Berger dan teori humanistik yang telah disinggung di atas melihat arti penting memperlakukan inti masalah sosiologi yaitu tindakan manusia dalam struktur sosial – tanpa kehilangan sedikitpun segala sesuatu yang terdapat disana. Berger juga memiliki asumsi-asumsi sosiologi humanis dan interpretatif lainnya tentang hakikat manusia dan hakikat masyarakat.
            Perlu ditekankan bahwa bagi Garfinkel, masyarakat tidak memiliki realitas yang berpisah dari kemampuan orang yang untuk meyakinkan orang lain bahwa realitas tersebut berada diluar. Realitas merupakan usaha yang sulit, yang membutuhkan suatu proses pembentukan dan pemeliharaan yang konsen. Sebagaimana komentar Turner (1947:330) “bukan rasa keteraturan yang membuat masyarakat menjadi mungkin, tetapi kemampuan manusia untuk mencipta secara aktif dan kontiyu dan menggunakan aturan-aturan untuk saling meyakini bahwa dunia yang riel memang benar ada”.
Relevansi Teori untuk Analisis Masyarakat Kontemporer
Kata Etnometodologi secara literer adalah “Metode” yang digunakan oleh orang-orang melakukan (dan juga menjelaskan secara rasional) aktifitas kesehariannya (sehari-hari). Dari pengertian ini dapat kita lihat dalam dunia sekarang bahwasanya seseorang memiliki metode sendiri dalam menjelaskan aktifitasnya. Yang kini sering terjadi adalah dalam media sosial misal, instagram. Disini orang dapat menjelaskan aktifitasnya melalui melalui foto dan status yang mereka unggah atau upload di setiap aktivitasnya. Jauh berbeda dengan zaman dulu, dimana manusia dalam aktivitasnya hanya sekedar melakukan aktvitas tanpa perlu mengabarkan/memberitakan aktivitasnya itu kepada orang lain terlebih aktivitas yang kecil seperti mencuci mobil, merapikan rumah, berbelanja, dll. Pada saat itu aktivitas yang bersifat pribadi hanya perlu diketahui oleh orang-orang di sekitarnya saja dan akan terlihat kurang pantas bila diperlihatkan kepada orang lain.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari dalam teori fenomenologi, yaitu bisa dilihat pada zaman sekarang, dimana anak muda tidak lagi malu berhubungan dengan lawan jenis. Bahkan dalam hal hamil diluar nikahpun bukan menjadi hal yang tabu lagi. Seperti dalam kabupaten gunungkidul, tepatnya kecamatan semanu,dalam pengamatan saya disini kasus hamil diluar nikah banyak terjadi dikalangan anak muda. Hal ini merupakan suatu fenomena atau realita sosial yang nampak pada saat ini.



DAFTAR PUSTAKA
Johnson, D. P.1989. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 2. Jakarta: Gramedia
Poloma. 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers

Ritzer. 2014. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar