ANALISA KASUS BERDASARKAN_ PERUBAHAN SOSIAL
STRUKTURAL FUNGSIONAL (TALCOT PERSON)
STUDI
KASUS “PENGURANGAN TINDAK PROSTITUSI PADA
KAUM PEREMPUAN Melalui Usaha Ekonomi Produktif
(UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)”
Dosen
Pembimbing : Nur Hidayah S.Sos, M.Si
![]() |
Disusun Oleh :
Rini Arofah Nurjannah (14413244006)
Pendidikan Sosiologi A
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
2015
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA
Kementerian Sosial sudah mempunyai
program untuk mengurangi tindakprostitusi pada kaum perempuan. Melalui Usaha Ekonomi Produktif
(UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kementerian Sosial akan melakukan
pembinaan khusus agar tidak kembali melakukan praktek prostitusi.
"Para perempuan mesti diberdayakan dan dibangun
kemandirian, terutama di bidang ekonomi dan di Kementerian Sosial (Kemensos)
dengan program UEP dan KUBE," ujar Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawansa, Minggu
(31/5/2015).
Program UEP diperuntukan bagi
perorangan Rp 3 juta dan KUBE bagi kelompok terdiri 10 orang dengan bantuan Rp
20 juta. Sehingga, para perempuan bekas lokalisasi tidak hanya diselamatkan,
tapi diberikan penghidupan layak dan lebih manusiawi.
"Mereka bisa mendapatkan program intervensi dari
Kemensos. Bagi mucikari tidak ada pemberdayaan, melainkan tindakan hukum tegas
mesti dijerat," ucapnya.
Tiga tugas Kemensos terkait
penanganan perempuan bekas lokalisasi prostitusi sesuai Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi), yaitu
memberikan bantuan UEP, menyiapkan tiket pulang kampung, serta memberikan
jaminan hidup (Jadup) selama dua bulan.
"Tiga tugas Kemensos tersebut, terus dilakukan dengan
berbagai pemberdayaan bagi bekas para perempuan lokalisasi di seluruh
Indonesia," tandasnya.
Tidak ada salahnya belajar dari Swedia soal penangananprostitusi dengan memberikan hukuman terhadap pelanggan, pelaku
dan mucikari. Artinya, ketiganya mendapatkan hukuman tegas dan sanksi sosial.
"Para bupati dan wali kota agar
pro-aktif dalam penanganan prostitusi, dengan mendata perempuan dan menyiapkan mereka berbagai
program pemberdayaan," katanya.
ANALISA
KASUS
BERDASARKAN PARADIGMA STRUKTUAL FUNGSIONAL
Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oralatau hubungan seks,
untuk uang. Seseorang yang
menjual jasa seksual disebut pelacur,
yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
Dalam pengertian yang
lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga
juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang
bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil. Di Indonesia
pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini
menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan
menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak
ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan
mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau
nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan
banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Resiko yang
dipaparkan pelacuran antara lain adalah keresahan masyarakat dan penyebaran penyakit menular seksual, sepertiAIDS yang merupakan resiko umum seks bebas tanpa pengaman sepertikondom.
Akhir-akhir ini
banyak sekali terungkap mengenai kasus prostitusi Online yang dilakukan para
perempuan. Pekerjaan kotor itu dilakukan dalam guna untuk menyambung kerasnya
hidup di tengah kota, Khususnya Jakarta.
Dengan
pekerjaan ini seseorang akan lebih muda mendapatkan jumlah uang yang banyak
tanpa harus bekerja keras di panasnya terik matahari. Presepsi ini adalah
presepsi yang salah besar. Seorang perempuan yang berani menjual dirinya hanya
demi uang tanpa memikirkan resiko kedepannya. Dengan banyaknya kasus-kasus
prostitusi yang ada, kini Kementerian Sosial mempunyai program
untuk mengurangi tindak prostitusi pada kaum perempuan. Melalui Usaha Ekonomi Produktif
(UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kementerian Sosial akan melakukan
pembinaan khusus agar tidak kembali melakukan praktek prostitusi. Para perempuan diberdayakan dan dibangun kemandirian,
terutama di bidang ekonomi dan di Kementerian Sosial (Kemensos) dengan program
UEP dan KUBE.
Bila
dilihat melalui paradigma struktural fungsional, pengurangan Prostitusi ini
dapat menjadi salah satu contoh. Dimana dalam teori ini menekankan kepada
keteraturan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dengan adanya program
seperti ini seseorang yang awalnya pekerja seks akan mengalami perubahan sosial
berupa aturam, nilai nirma, sikap, berilaku, dan lain sebagainya. Dalam hal ini Parsons juga telah
menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada
mahkluk hidup. Disini sebagai komponen utama pemikiran Parsons adalah tentang
adanya proses diferensiasi, yaitu asumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari
sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan
makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Perubahan sosial yang
terjadi pada masyarakat menurut Parson akan berdampak terhadap kemampuan yang
lebih baik bagi masyarakat itu sendiri, khususnya untuk menanggulangi
permasalahan hidup.
Dalam
hal penjelasan persoalan structural fungsional, disini parsons mengedapankan
empat fungsi yang penting untuk semua system tindakan. Salah satu fungsi adalah
kegiatan yang ditunjukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan
system. Untuk bisa bertahan, parsons mengajukan empat fungsi yang harus
dimiliki oleh setiap system, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Adaptasi
(adaptation)
Supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan
dirinya.
2. Pencapaian
tujuan (goal attainment)
Sebuah system harus mampu menentukan tujuannya dan
berusaha mencapai tujuan-tujuan yang
telah dirumuskan itu.
3. Integrasi
(integration)
Masyarakat harus mengatur hubungan diantara
komponen-komponen supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.
4. Latency
atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada
Setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki,
dan membaharui baik motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang
menciptakan dan mempertahankan motivasi-motivasi itu.
Keempat fungsi tersebut dikenal
dengan sebutan AGIL yaitu Adaptasi, Goal attainment, Integrasi, dan Latensi. Dalam
analisis kasus diatas fungsi-fungsi tersebut dapat diterapkan sebagai berikut :
1. Adaptasi
Adaptasi
dilakukan oleh para pekerja seks (prostitusi), hal ini dilakukan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, dengan pekerjaan barunya. Cara
berpakaian, berbicara, dan bertingkah lakupun juga sesuai dengan masyarakat
yang kini mengelilinginya.
2. Goal
Attainment (Pencapaian Tujuan)
Program pengurangan prostitusi ini bertujuan untuk memperdayakan
dan membangun kemandirian mantan pekerja seks di bidang ekonomi dan di
kementrian sosial dalam program UEP dan KUBE seperti yang dijelaskan dalam
berita diatas
3. Integrasi
Dalam hal ini mantan pekerja seks tersebut
diharapkan bisa mengatur hubungan baik dengan masyarakat yang lain untuk
memperbaiki nama baik nya yang pernah tercemar. Integrasinya tersebut bisa
dengan silaturahim ke pada masyarakat, dengan meminta maaf ataupun melakukan
syukuran karena dia telah mendapat hidayah dari Yang Maha Kuasa dan melakukan
hal yang membuat masyarakat percaya bahwa orang tersebut telah benar taubat.
Tidak hanya pekerja seks tersebut yang harus melakukan integrasi, akan tetapi
dalam hal ini masyarakat juga harus mendukung adanya program tersebut dengan
menerima orang tersebut (pekerja seks) di dalam masyarakat bukan dengan
pengucilan. Masyarakat sekitar harus bisa merangkul orang tersebut agar tidak
kembali kedalam pekerjaan semula.
4. Latensi
atau pemeliharaan pola-pola yang ada
Dalam hal ini masyarakat maupun mantan pekerja seks
tersebut harus mempertahankan, memperbaiki, dan membaharui pola-pola budaya
yang menciptakan dan mempertahankan nilai dan norma. Kini masyarakat dan mantan
pekerja seks tersebut harus berpegang dengan nilai-nilai dan norma yang telah
diterapkan dalam masyarakat dan pemerintah. Dengan mematuhi dan menjalankan
suatu perbuatan sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, sebab suatu
peraturan itu dibuat untuk menertibkan dan menjadikan seseorang lebih baik
kedepan.
Peraturan tersebut contohnya dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan/atau Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang
Perlindungan Anak, yaitu manakala melibatkan anak, atau perundangan lain yang terkait
dengan perundangan pidana. Adapun yang dikategorikan anak adalah mereka yang
berumur di bawah delapan belas tahun. Berkaitan dengan anak ini dalam pasal 287
KUHP terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa 'barang siapa yang bersetubuh
dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahuinya atau sepetutnya
harus diduga bahwa umurnya lima belas tahun, atau kalau tidak ternyata, bahwa
belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Namun dengan keluarnya antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 serta
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, maka batas umur dalam pasal 287 KUHP harus
ditafsir dengan didasarkan pada undang-undang yang baru, yaitu di bawah umur
delapan belas tahun, penafsiran semacam ini masuk dalam kategori penafsiran
sistematik.
Contoh peraturan daerah yang dapat
menjerat pidana PSK maupun pemakai jasa PSK misalnya Pasal 42 ayat (2)
Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI
8/2007”):
“Setiap
orang dilarang:
a. menyuruh,
memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks
komersial;
b. menjadi
penjaja seks komersial;
c. memakai
jasa penjaja seks komersial.”
Orang yang
melanggar ketentuan ini dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari
dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500.000 dan paling banyak
Rp. 30 juta (Pasal 61 ayat [2] Perda DKI 8/2007).
Keempat
sistem tersebut adalah suatu system tindakan yang menganaikan adanya kesatuan
antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Dalam kasus ini kesatuan
tersebut bertujuan untuk kesejahteraan rakyat tanpa adanya keresahan mengenai
kasus prostusi yang ada, sebab kasus ini dapat mempengaruhi masyarakat banyak,
khususnya para remaja. Maka dengan program dan system inilah keresahan
masyarakat mengenai kasus tersebut menjadi berkurang.
Referensi :
http://cynthiadeviportfolio.blogspot.com/2009/04/analisa-kasus-berdasarkan-paradigma.html (Sebagai panduan pembuatan Analisis berdasarkan fungsional
structural)
(Salim, Agus.2002.Perubahan Sosial.Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar