Kamis, 04 Juni 2015

Analisa Kasus Berdasarkan_ Perubahan Sosial Struktural Fungsional (Talcot Persons)

ANALISA KASUS BERDASARKAN_ PERUBAHAN SOSIAL STRUKTURAL FUNGSIONAL (TALCOT PERSON)


STUDI KASUS “PENGURANGAN TINDAK PROSTITUSI PADA KAUM PEREMPUAN Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Dosen Pembimbing : Nur Hidayah S.Sos, M.Si

 









Disusun Oleh :
Rini Arofah Nurjannah (14413244006)

Pendidikan Sosiologi A
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
2015



STUDI KASUS “PENGURANGAN TINDAK PROSTITUSI PADA KAUM PEREMPUAN”

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
Kementerian Sosial sudah mempunyai program untuk mengurangi tindakprostitusi pada kaum perempuan. Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kementerian Sosial akan melakukan pembinaan khusus agar tidak kembali melakukan praktek prostitusi.
"Para perempuan mesti diberdayakan dan dibangun kemandirian, terutama di bidang ekonomi dan di Kementerian Sosial (Kemensos) dengan program UEP dan KUBE," ujar Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Minggu (31/5/2015).
Program UEP diperuntukan bagi perorangan Rp 3 juta dan KUBE bagi kelompok terdiri 10 orang dengan bantuan Rp 20 juta. Sehingga, para perempuan bekas lokalisasi tidak hanya diselamatkan, tapi diberikan penghidupan layak dan lebih manusiawi.
"Mereka bisa mendapatkan program intervensi dari Kemensos. Bagi mucikari tidak ada pemberdayaan, melainkan tindakan hukum tegas mesti dijerat," ucapnya.
Tiga tugas Kemensos terkait penanganan perempuan bekas lokalisasi prostitusi sesuai Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi), yaitu memberikan bantuan UEP, menyiapkan tiket pulang kampung, serta memberikan jaminan hidup (Jadup) selama dua bulan.
"Tiga tugas Kemensos tersebut, terus dilakukan dengan berbagai pemberdayaan bagi bekas para perempuan lokalisasi di seluruh Indonesia," tandasnya.
Tidak ada salahnya belajar dari Swedia soal penangananprostitusi dengan memberikan hukuman terhadap pelanggan, pelaku dan mucikari. Artinya, ketiganya mendapatkan hukuman tegas dan sanksi sosial.
"Para bupati dan wali kota agar pro-aktif dalam penanganan prostitusi, dengan mendata perempuan dan menyiapkan mereka berbagai program pemberdayaan," katanya.


ANALISA KASUS
BERDASARKAN PARADIGMA STRUKTUAL FUNGSIONAL
Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oralatau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil. Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Resiko yang dipaparkan pelacuran antara lain adalah keresahan masyarakat dan penyebaran penyakit menular seksual, sepertiAIDS yang merupakan resiko umum seks bebas tanpa pengaman sepertikondom.
Akhir-akhir ini banyak sekali terungkap mengenai kasus prostitusi Online yang dilakukan para perempuan. Pekerjaan kotor itu dilakukan dalam guna untuk menyambung kerasnya hidup di tengah kota, Khususnya Jakarta.
Dengan pekerjaan ini seseorang akan lebih muda mendapatkan jumlah uang yang banyak tanpa harus bekerja keras di panasnya terik matahari. Presepsi ini adalah presepsi yang salah besar. Seorang perempuan yang berani menjual dirinya hanya demi uang tanpa memikirkan resiko kedepannya. Dengan banyaknya kasus-kasus prostitusi yang ada,  kini Kementerian Sosial mempunyai program untuk mengurangi tindak prostitusi pada kaum perempuan. Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kementerian Sosial akan melakukan pembinaan khusus agar tidak kembali melakukan praktek prostitusi. Para perempuan diberdayakan dan dibangun kemandirian, terutama di bidang ekonomi dan di Kementerian Sosial (Kemensos) dengan program UEP dan KUBE.
Bila dilihat melalui paradigma struktural fungsional, pengurangan Prostitusi ini dapat menjadi salah satu contoh. Dimana dalam teori ini menekankan kepada keteraturan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dengan adanya program seperti ini seseorang yang awalnya pekerja seks akan mengalami perubahan sosial berupa aturam, nilai nirma, sikap, berilaku, dan lain sebagainya.  Dalam hal ini Parsons juga telah menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Disini sebagai komponen utama pemikiran Parsons adalah tentang adanya proses diferensiasi, yaitu asumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat menurut Parson akan berdampak terhadap kemampuan yang lebih baik bagi masyarakat itu sendiri, khususnya untuk menanggulangi permasalahan hidup.
Dalam hal penjelasan persoalan structural fungsional, disini parsons mengedapankan empat fungsi yang penting untuk semua system tindakan. Salah satu fungsi adalah kegiatan yang ditunjukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan system. Untuk bisa bertahan, parsons mengajukan empat fungsi yang harus dimiliki oleh setiap system, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Adaptasi (adaptation)
Supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya.
2.      Pencapaian tujuan (goal attainment)
Sebuah system harus mampu menentukan tujuannya dan berusaha mencapai tujuan-tujuan  yang telah dirumuskan itu.
3.      Integrasi (integration)
Masyarakat harus mengatur hubungan diantara komponen-komponen supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.
4.      Latency atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada
Setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, dan membaharui baik motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi-motivasi itu.
Keempat fungsi tersebut dikenal dengan sebutan AGIL yaitu Adaptasi, Goal attainment, Integrasi, dan Latensi. Dalam analisis kasus diatas fungsi-fungsi tersebut dapat diterapkan sebagai berikut :
1.      Adaptasi
Adaptasi dilakukan oleh para pekerja seks (prostitusi), hal ini dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, dengan pekerjaan barunya. Cara berpakaian, berbicara, dan bertingkah lakupun juga sesuai dengan masyarakat yang kini mengelilinginya.
2.      Goal Attainment (Pencapaian Tujuan)
Program pengurangan prostitusi ini bertujuan untuk memperdayakan dan membangun kemandirian mantan pekerja seks di bidang ekonomi dan di kementrian sosial dalam program UEP dan KUBE seperti yang dijelaskan dalam berita diatas
3.      Integrasi
Dalam hal ini mantan pekerja seks tersebut diharapkan bisa mengatur hubungan baik dengan masyarakat yang lain untuk memperbaiki nama baik nya yang pernah tercemar. Integrasinya tersebut bisa dengan silaturahim ke pada masyarakat, dengan meminta maaf ataupun melakukan syukuran karena dia telah mendapat hidayah dari Yang Maha Kuasa dan melakukan hal yang membuat masyarakat percaya bahwa orang tersebut telah benar taubat. Tidak hanya pekerja seks tersebut yang harus melakukan integrasi, akan tetapi dalam hal ini masyarakat juga harus mendukung adanya program tersebut dengan menerima orang tersebut (pekerja seks) di dalam masyarakat bukan dengan pengucilan. Masyarakat sekitar harus bisa merangkul orang tersebut agar tidak kembali kedalam pekerjaan semula.

4.      Latensi atau pemeliharaan pola-pola yang ada
Dalam hal ini masyarakat maupun mantan pekerja seks tersebut harus mempertahankan, memperbaiki, dan membaharui pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan nilai dan norma. Kini masyarakat dan mantan pekerja seks tersebut harus berpegang dengan nilai-nilai dan norma yang telah diterapkan dalam masyarakat dan pemerintah. Dengan mematuhi dan menjalankan suatu perbuatan sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, sebab suatu peraturan itu dibuat untuk menertibkan dan menjadikan seseorang lebih baik kedepan.
Peraturan tersebut contohnya dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yaitu manakala melibatkan anak, atau perundangan lain yang terkait dengan perundangan pidana. Adapun yang dikategorikan anak adalah mereka yang berumur di bawah delapan belas tahun. Berkaitan dengan anak ini dalam pasal 287 KUHP terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa 'barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahuinya atau sepetutnya harus diduga bahwa umurnya lima belas tahun, atau kalau tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Namun dengan keluarnya antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 serta Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, maka batas umur dalam pasal 287 KUHP harus ditafsir dengan didasarkan pada undang-undang yang baru, yaitu di bawah umur delapan belas tahun, penafsiran semacam ini masuk dalam kategori penafsiran sistematik.
 Contoh peraturan daerah yang dapat menjerat pidana PSK maupun pemakai jasa PSK misalnya Pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI 8/2007”):
Setiap orang dilarang:
a.    menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial;
b.    menjadi penjaja seks komersial;
c.    memakai jasa penjaja seks komersial.”

Orang yang melanggar ketentuan ini dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500.000 dan paling banyak Rp. 30 juta (Pasal 61 ayat [2] Perda DKI 8/2007).
Keempat sistem tersebut adalah suatu system tindakan yang menganaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Dalam kasus ini kesatuan tersebut bertujuan untuk kesejahteraan rakyat tanpa adanya keresahan mengenai kasus prostusi yang ada, sebab kasus ini dapat mempengaruhi masyarakat banyak, khususnya para remaja. Maka dengan program dan system inilah keresahan masyarakat mengenai kasus tersebut menjadi berkurang.

Referensi :
http://cynthiadeviportfolio.blogspot.com/2009/04/analisa-kasus-berdasarkan-paradigma.html (Sebagai panduan pembuatan Analisis berdasarkan fungsional structural)
(Salim, Agus.2002.Perubahan Sosial.Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya)


Belajar Sosiologi