Selasa, 15 November 2016

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANKAN INTEGRASI BANGSA INDONESIA





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
 Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau. Selain itu, Indonesia memiliki ragam budaya yang tidak kalah banyaknya. Indonesia menganut 6 Agama yang telah diakui, diantaranya Islam, Kristen, Katholik, Hindhu, Budha, dan Konghuchu.
Dalam hal cara pandang menangani suatu masalah masyarakat di Indonesia memiliki beberapa perbedaan, misal saja dikarenakan bedanya latar belakang suku bangsa. Secara umum perbedaan kompleks dalam masyarakat majemuk tidak hanya perbedaan horizontal, tetapi ada pula perbedaan vertikal.
            Istilah Multikultural akhir-akhir ini mulai diperbincangkan di berbagai kalangan berkenaan dengan merebaknya konflik etnis di negara ini. Multikultural yang dimiliki Indonesia dianggap menjadi faktor utama terjadinya konflik. Konflik berbau SARA yaitu suku, agama, ras, dan antargolongan yang terjadi di Aceh, Ambon, Papua, Kupang, Maluku dan berbagai daerah lainnya adalah realitas yang dapat mengancam integrasi bangsa di satu sisi dan membutuhkan solusi konkret dalam penyelesaiannya di sisi lain. Hingga muncullah konsep multikulturalisme. Multikulturalisme dijadikan sebagai acuan utama terbentuknya masyarakat multikultural yang damai. 
Maka dari itu, penulis menyusun paper untuk mengkaji tentang Pendidikan Multikultural Sebagai Upaya mempertahankan Integrasi Bangsa Indonesia

B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ruang lingkup pendidikan multikultural ?
2.      Bagaimana pentingnya pendidikan masyarakat multikultural ?
3.      Bagaimana pendidikan multikultural memberikan upaya dalam mempertahankan integrasi masa depan bangsa Indonesia?


C.      Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan ruang lingkup pendidikan multikultural
2.      Untuk mendeskripsikan pentingnya pendidikan multikultural
3.      Untuk mendeskripsikan pendidikan multicultural memberikan uppaya dalam mempertahankan integrasi masa depan bangsa indonesia


BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Multikulturalisme
Pendidikan multikultural adalah proses penyadaran yang berwawasan sosial edukatif mencakup keragaman hidup beragama, sosial, ekonomi, dan budaya. Pendidikan ini harus dilihat sebagai bagian dari usaha yang komprehensif untuk menanamkan pemahaman nilai-nilai toleransi, empati, simpati dan solidaritas sosial dalam kerangka hidup bersama dalam suatu komunitas masyarakat multikultural. Sikap toleransi tidak mungkin tertanam dengan sendirinya tanpa adanya usaha sadar untuk menginternalisasikannya, dalam bentuk sosialisasi yang terus menerus dalam pendidikan. Menurut Paul Gorski (2000), terdapat tujuan pendidikan multikultural yaitu mempengaruhi perubahan sosial yang melibatkan tiga pokok transformasi yaitu:pertama, transformasi diri, yang bertujuan mengenal identitas diri merupakan “begining point” yang menghubungkan guru, siswa, dan lingkungan yang menjadi pilar dasar dalam proses pembelajaran yang menuntut pemahaman tentang seluk beluk materi yang diajarkan. Kedua, sekolah dan persekolahan merupakan “point of focus” untuk mengerti dan menghargai identitas etnik yang melekat pada dirinya. Ketiga, transformasi masyarakat menuju pada perkembangan identifikasi global yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memandang bagaimana sebagai bangsa mereka membaur dalam masyarakat dunia.
Pendidikan multikultural mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya dapat dicapai dengan baik. Tujuan awal pendidikan multikultual yaitu membangun wacana pendidikan multikulturan dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum. Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi juga diharapkan bahwa peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis, dan humanis.
Pendidikan multikultural sebagai proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah retak. Multkulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan
James Banks (1994) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasikan perbedaan sebagai suatu keniscayaan (anugerah Tuhan/sunatullah). Selanjutnya bagaimana masyarakat mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Ruang pendidikan sebagai media transfer of knowledge hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam, baik latar belakang maupun basis sosio-budaya yang melingkupinya. Pemikiran selanjutnya adalah tentang beberapa dimensi pendidikan multicultural yang saling berkaitan yaitu: pertama, content integration adalah mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pembelajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya maupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pembelajaran. Kemudian melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti olah raga, seni, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif (Mahfud, 2008). Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestis sosial sebagai akibat kekayaan
B.     Pentingnya pendidikan masyarakat multikultural
Hal terpenting yang perlu di catat dalam pendidikan multikultural ini adalah seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara professional mengajarkanmata pelajran atau mata kuliah yang dijarkannya. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu  menanamkan nilai – nilai inti dari pendidikan multicultural. Pada akhirnya, diharapkan  bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa ini, lambat laun dapat diminimalkan, karena generasi kita di masa yang akan dating adalah ‘generasi multikultural’ yang menghargai perbedaan, selalu menegakkan nilai – nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan.
-          Kultur, Kulturasi dan Multikultural
Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk memahami arti kultur di dalam pendidikan multicultural adalah membangun pemahaman kita terlebih dahulu tentang karakteristik.
-          Karakteristik kultur
Pertama, kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya, tergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada.Kedua, kultur adalah sesuatu yang di pelajari. Seorang bayi atau anak kecil akan mudah meniru kebiasaan orang tuannya. Ketiga, kultur adalah sebuah symbol. Dalam hal ini symbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus yang hanya dapat diartikan secara khusus pula atau bahkan tidak dapat diartikan ataupun dijelaskan. Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Secara alamiah, manusia harus makan untuk mendapatkan energy, kemudian kultur mengajarkan pada manusia untuk makan apa, kapandan bagaimana. Kultur juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan alam secara alamiah dimana mereka berada. Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota kelompok masyarakat.Keenam. kultur adalah sebuah model. Artinya, kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan system-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat istiadat, institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai adalah sesuatu yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Ketujuh, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya, kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
Berdasarkan beberapa karakteristik kultur di atas maka secara umum dapat dijelaskan bahwa kultur adalah ciri-ciri dari tingkah laku manusia yang di pelajari, tidak di turunkan secara genetis dan bersifat sangat khusus, sehingga kultur pada masyarakat “A” berbeda dengan kultur masyarakat “B” dan seterusnya. Dengan kata lain, kultur dapat di artikan sebagai sebuah cara dalam bertingkah-laku dan beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.
Demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh karena itu, pendidikan multikultural merupakan jawaban atas problematika kemajemukan. Hal tersebut senada dengan paradigma tentang proses pendidikan yang didefinisikan sebagai proses pembudayaan dan cita-cita persatuan bangsa merupakan unsur budaya nasional. Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia, serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat dijadikan sebagai strategi dalam mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya.

Pendidikan multikultural di Indonesia belum menjadi kajian bidang ilmu pendidikan. Multikulturalisme baru menjadi wacana utama bidang antropologi, politik, dan sosiologi. Wacana dalam bidang pendidikan belum dikenal sebagai kajian substansial yang memberikan bobot fundamental dari sisi ontologi (objek kajian ilmu) dan aksiologi, karena ilmu pendidikan selama ini baru disikapi sebagai kajian normatif dari relasi hubungan guru dan siswa serta masyarakat dalam lembaga pendidikan. Pendidikan multikultural harus berhasil membangun pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun kolektif dan tidak terjebak dalam primordialisme budaya dan eksklusifisme kelompok agama atau budaya yang sempit.

Urgensi pendidikan multikultural belum nampak dari sisi pengembangan masyarakat ke arah penyadaran akan perbedaan-perbedaan yang ada. Menjunjung kemanusiaan dalam semua tindakan dan agenda aksi yang nyata dan bersifat membebaskan, harus menjadi esensi dari pendidikan multikultural. Jadi, urgensi pendidikan multikultural sangat penting karena berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik; hal lain dari pendidikan multikultural adalah agar siswa tidak tercabut dari akar budayanya; pendidikan multikultural juga dinilai relevan dengan alam demokrasi seperti saat ini. Untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan maka sangat dirasa perlu memasukkannya ke dalam kurikulum nasional. 

C.     PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANKAN INTEGRITAS MASA DEPAN BANGSA INDONESIA

Amandemen untuk konstitusi Indonesia yang diperkenalkan sejak tahun 1999 telah menghasilkan perubahan artikel-artikel tertentu, yang dapat disajikan sebagai pondasi hukum yang perlu untuk implementasi pendidikan multikultural. Konstitusi Indonesia berisi bab hak asasi manusia yang terdiri dari 10 artikel yang antara lain menjamin hak kebebasan perlindungan dari perlakuan diskriminasi pada segala situasi, dan menghormati identitas kebudayaan dan hak komunitas tradisional. Gambaran lebih jelas dari hak asasi manusia dapat ditemukan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga meliputi artikel pada perlindungan berbagai bentuk diskriminasi dan perlindungan identitas kebudayaan dan hak kepemilikan tanah tradisional. Sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban langsung kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan pada berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatis dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan diselenggarakan dengan member keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik ddalam proses pembelajaran.
Pusat pengembangan kurikulum departemen pendidikan nasional “Kurikulum Berbasis Kompetensi” yang digunakan pada tahun 2004 pada SD dan SMP di seluruh Indonesia (untuk keterangan lebih detail tentang kurikulum berbasis Kompetensi Indonesia, lihat Pusat Kurikulum Depdiknas 2002). Namun dalam perkembangannya kurikulum berbasis kompetensi ini kemudian dikembangkna lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kemudian pada isi kurikulum mengindikasikan bahwa porsi yang signifikan untuk pelajaran ilmu sosial tertentu akan disediakan untuk sifat multikultural masyarakat Indonesia. Dokumen Pusat Kurikulum menyatakan: “pendidikan multikultural dan multi bahasa” sebagai prinsip dari pengembangan kurikulum tersebut (lihat, Pusat Kurikulum Depdiknas, 2001).

Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada beberapa prinsip seperti; menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah, kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda, mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, diantaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.  Bisa digarisbawahi, nilai dasar dalam pendidikan multikultural adalah toleransi. Maka toleransi harus dididikkan, tidak cukup berhenti pada wacana. Sebagai konsekuensinya, agar pendidikan lebih multikultural, maka pendidikan dan pengajaran harus memperkokoh pluralism dan menentang adanya rasisme, diskriminasi gender dan bentuk-bentuk lain dari intoleransi dan dominasi sosial. Pada konteks ini tentu harus dilakukan transformasi kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan peran guru menjadi multikultural. Menurut Gay’s dalam Koentjaraningrat (1996), prinsip-prinsip penting dalam menerapkan pendidikan multikultural adalah kurikulum berdasarkan sejarah dan berpusat pada keragaman, berorientasi pada perbaikan, pengajaran mengarah pada keragaman, kurikulum tergantung pada konteks, bersifat menyerap keragaman dan dapat diterapkan secara luas dan bersifat komprehensif serta mencakup semua level pendidikan. Seorang pendidik bias menggunakan “payung multikultural” dalam membantu anak didik untuk memahami keterlibatan banyak kelompok dan keinginan di masyarakat.

Singkatnya, paradigma pendidikan multikultural perlu mewarnai model pembelajaran yang diterapkan dalam kelas. Sesuai prinsip pendidikan multikultural, maka aktivitas pembelajaran di sekolah disarankan untuk memberi perhatian pada kompleksitas dinamis dari berbagai faktor yang mempengaruhi interaksi manusia, seperti fisik mental, kemampuan, kelas, gender, usia, politik agama, dan etnisitas. Para pendidik pada konteks ini disarankan menggunakan metode-metode yang bersifat antropologis untuk mengidentifikasi kelompok sosio budaya, nilai-nilai serta praktiknya yang mempengaruhi proses berkaryanya. Pada intinya pengajaran yang diharapkan adalah pengajaran “bebas dari prasangka” atau “Kurikulum Tanpa Prasangka”.



BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN

Pendidikan multikultural adalah proses penyadaran yang berwawasan sosial edukatif mencakup keragaman hidup beragama, sosial, ekonomi, dan budaya. Pendidikan ini harus dilihat sebagai bagian dari usaha yang komprehensif untuk menanamkan pemahaman nilai-nilai toleransi, empati, simpati dan solidaritas sosial dalam kerangka hidup bersama dalam suatu komunitas masyarakat multikultural.
Pendidikan multikultural dapat menjadi salah satu model untuk mengatasi konflik SARA. Hal itu dapat dilakukan melalui kurikulum, pembelajaran di kelas dengan menggunakan mata pelajaran ilmu-ilmu sosial budaya dan keagamaan yang diharapkan mampu mencegah timbulnya konflik antar suku, agama, ras dan antar golongan.

B.     SARAN
Pemerintah melalui tenaga pendidik ikut mengajarkan pentingnya pendidikan multikultural
Tenaga pendidik hendaknya mendalami akan pentingnya multikultural dan disosialisasikan kepada masyarakat, agar terhindar dari konflik yang ada (SARA)


DAFTAR PUSTAKA


Choirul Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3ES

Education.http://www.edchange.org/multicultural/initial.html

Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Nasikun.1984. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Rajawali

JURNAL 505-740-1-SM (mempertahankan integrasi bangsa Indonesia melalui pendidikan multicultural)

Minggu, 17 Januari 2016

Contoh Laporan Penelitian Kuantitatif

PERBANDINGAN PRESENTASI PENDUDUK BUTA HURUF DI INDONESIA YANG BERUSIA 15 +  DI TAHUN 2012-2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Pembangunan sumber daya manusia merupakan salah satu dari tujuan nasional dalam menetapkan kemajuan suatu negara dapat ditentukan oleh tiga indikator indeks pembangunan manusia, yaitu indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks perekonomian. Angka melek huruf adalah salah satu variabel dari indikator indeks pendidikan. Semakin berkembangnya zaman memaksa kita untuk terus berpendidikan tinggi agar nantinya tidak lagi ketinggalan informasi. Melek huruf sangat dibutuhkan oleh seorang individu, sebab semua itu dapat menjadikan bekal terhadap seseorang untuk mendapatkan pekerjaan. Suatu pendidikan akan menentukan bagaimana kehidupan kita kedepan.

 Angka melek huruf adalah proposisi penduduk usia 15 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca/ditulisnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas. Sedangkan Angka buta huruf adalah proposisi penduduk usia 15 tahun keatas yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas.

Angka buta huruf 15 tahun ke atas pada tahun 2012 mencapai 7,03% . Dengan hal tersebut pemerintah berusaha melakukan berbagai hal strategi untuk menuntaskan masalah tersebut. Banyak program-progam yang dilakukan oleh pemerintah, seperti Sekolah gratis, Dana BOS, Sosialisasi pentingnya sekolah dan sebagainya. Pada tahun 2012 pemerintah mulai merintis program Wajib Belajar 12 tahun dengan memberikan Bantuan Operasional Siswa SMA (BOS SMA), dengan harapan tidak ada lagi remaja usia sekolah tidak bersekolah/putus sekolah. Sebab dapat dilihat bahwa penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk remaja usia 15-24 tahun. Dengan adanya program-program pemerintah dalam mengentaskan buta huruf, maka peneliti mencoba untuk memantau taraf penduduk buta huruf di Indonesia dan meneliti presentase penduduk buta huruf di Indonesia menurut umur tahun 2007-2013, khususnya mengenai “Perbandingan Presentasi Penduduk Buta Huruf Umur 15+ Tahun 2012-2013” dengan tujuan untuk progress pendidikan tahun berikutnya.

B.     Rumusan Masalah
Berapakah perbandingan presentase penduduk buta huruf di Indonesia yang berusia 15+ tahun 2012-2013?
C.     Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan masalah penelitian antara lain:
Mendeskripsikan perbandingan presentase penduduk buta huruf di Indonesia yang berusia 15+ pada tahun 2012-2013.

D.    Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian diharapkan dapat:
a.       Menjadi referensi bagi instansi-instansi terkait perbandingan penduduk buta huruf di Indonesia
b.      Menjadi bahan pertimbangan dan penentu kebijakan untuk memberantas penduduk buta huruf
c.       Sebagai tambahan pengetahuan dan perkembangan untuk masyarakat Indonesia
BAB II
KAJIAN TEORI
A.    KAJIAN PUSTAKA
1.      Perbandingan
Dalam kamus bahasa Indonesia perbandingan adalah perbedaan (selisih) kesamaan sebagai pedoman pertimbangan dalam pengalaman yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Dalam matematika perbandingan adalah membandingkan dua nilai atau lebih dari suatu besaran yang sejenis dan dinyatakan dengan cara yang sederhana. Perbandingan a : b atau  . Perbandingan juga bisa dinyatakan dalam pecahan. Contoh soal perbandingan :
Perbandingan antara uang Rahmi dengan uang Mirza adalah 4:5 . Jumlah uang mereka adalah Rp. 72.000,00 . Berapakah jumlah uang yang diterima masing-masing.
Jumlah uang Rahmi :  x 72 = x72 = 32
Jumlah uang Mirza :  x 72 =  x 72 = 40
(sumber : id.Wikibooks.org)
2.      Presentase
Presentase adalah sebuah angka atau perbandingan untuk menyatakan pecahan dari seratus. Presentasi sering ditunjukkan dengan symbol % .

3.      Konsep Buta Huruf dan Melek Huruf

Pengertian buta huruf menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2006, yaitu ketidakmampuan yang dimiliki seseorang untuk membaca dan menulis dengan huruf latin dan angka arab dalam bahasa Indonesia, serta tidak memiliki keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan. Terdapat pula pengertian buta huruf fungsional menurut Depdiknas, yang berarti ketidakmampuan melakukan kegiatan yang memerlukan kecakapan keaksaraan, misalnya membaca, menulis dan berhitung untuk bidang usaha yang menjadi mata pencaharian. Sebaliknya pengertian melek huruf fungsional adalah kemampuan seseorang paling tidak dapat membaca dan menulis dengan huruf latin dan berhitung dengan angka arab dalam setiap kegiatannya yang memerlukan kecakapan tersebut dan juga memungkinkannya untuk melanjutkan pemanfaatan kecakapan membaca, menulis dan berhitung untuk pengembangan diri dan masyarakat. Buta huruf menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) (2007) terbagi menjadi dua bentuk, yaitu buta huruf murni dan buta huruf praktis. Buta huruf murni yaitu dimana penduduk sama sekali tidak dapat membaca, menulis dan berhitung dengan huruf apapun. Sedangkan buta huruf praktis dialami penduduk yang tidak dapat membaca, menulis dan berhitung dengan huruf latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. 7 Pada konferensi UNESCO tahun 1978, pengertian melek huruf merupakan penggunaaan keaksaraan dalam seluruh aktivitas seseorang dan berfungsi efektif bagi kelompoknya dan masyarakat, yang juga memberi kemungkinan bagi dia untuk menggunakannya dalam membaca, menulis dan berhitung bagi perkembangan dirinya sendiri maupun masyarakat. Setelah tahun 1980-an dan 1990 keaksaraan atau melek huruf diperluas maknanya untuk mengakomodasi tantangan globalisasi termasuk dampak teknologi baru dan media informasi serta pengetahuan ekonomi (UNESCO, 2006). Secara mantap digariskan bahwa keaksaraan adalah hak dan kunci menuju hak yang lain, serta memberikan bukti tentang multipersonal, manfaat sosial dan ekonomi (UNESCO, 2006). Pengukuran melek huruf seseorang yang digunakan dalam sensus nasional adalah kemampuan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana tentang keaksaraannya sehari-hari (Djalal, 2006). Melek huruf di Indonesia memainkan peranan penting dalam dalam meningkatkan kehidupan perekonomian individu yang aman dan kesehatannya bagus serta memperkaya masyarakat dengan pembangunan modal manusia, pengembangan identitas budaya dan toleransi, serta mempromosikan partisipasi warga negara (Djalal, 2006).
Angka melek huruf adalah proposisi penduduk usia 15 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca/ditulisnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas. Sedangkan Angka buta huruf adalah proposisi penduduk usia 15 tahun keatas yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas.
Rumusan :
 =  x 100  =  x 100
Keterangan :
AMHt 15 adalah jumlah penduduk 15 yang melek huruf tahun ke t
Pt adalah jumlah penduduk 15 tahun ke t
BHt 15 adalah jumlah penduduk yang buta huruf pada tahun ke t.
Kegunaan : untuk melihat pencapaian indikator yang telah dicapai oleh suatu daerah, karena membaca merupakan dasar utama dalam memperluas ilmu pengetahuan. AMH merupakan indicator penting untuk melihat sejauh mana penduduk suatu daerah terbuka terhadap pengetahuan.
Selain dari Susenas, variable indicator AMH dan ABH juga didapat dari sensus penduduk (SP), survey penduduk antar sensus (SUPAS) dan survey angkatan kerja nasional (sakernas) .
Interpretasi : tingkat melek huruf yang tinggi (tingkat buta huruf yang rendah) menunjukan adanya sebuah sistem pendidikan dasar yang efektif dan program keaksaraan yang memungkinkan sebagian besar penduduk untuk memperoleh kemampuan menggunakan kata-kata tertulis dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan sehari-hari dan melanjutkan pembelajarannya.
(sumber : sirusa.bps.go.id)
4.      Penduduk
Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan untuk menetap.
5.      Usia
Informasi tentang tanggal, bulan dan tahun dari waktu kelahiran responden menurut sistem kalender Masehi. Informasi ini digunakan untuk mengetahui umur dari responden. Penghitungan umur harus selalu dibulatkan kebawah, atau disebut juga umur menurut ulang tahun yang terakhir. Apabila tanggal, bulan maupun tahun kelahiran seseorang tidak diketahui, pencacah dapat menghubungkan dengan kejadian-kejadian penting baik nasional maupun daerah. (sumber : bps.go.id).

6.      Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IMP digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara  adalah negara maju,  negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Pendidikan merupakan sector utama dalam pembangunan sumber daya manusia, kinerja pendidikan yang merupakan indicator kemajuan suatu negara. Sehingga urusan pendidikan merupakan urusan wajib dipemerintah dan mendapatkan alokasi dana cukup besar.
IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari tiga indeks yang terdiri dari indeks harapan hidup yang diukur dengan harapan hidup pada saat lahir.  Indeks pendidikan yang diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa dan rata-rata lama sekolah, serta indeks standar hidup layak yang diukur dengan pengeluaran perkapita yang telah disesuaikan atau paritas daya beli.
Berdasarkan kajian aspek status pembangunan manusia, tinggi rendahnya status pembangunan manusia menurut UNDP dapat dibedakan menjadi 3 golongan :
1.      Tingkatan rendah, jika IPM < 50
2.      Tingkatan menengah, jika 50 < IPM <80
3.      Tingkatan tinggi, jika IPM >80
Namun untuk perbandingan antar daerah di Indonesia, yaitu perbandingann antar kabupaten/kota, maka kreteria kedua, yaitu tingkatan menengah dipecah menjadi 2 golongan, sehingga gambaran status akan berubah menjadi sebagai berikut :
1.      Tingkatan rendah, jika IPM < 50
2.      Tingkatan menengah bawah jika 50 < IPM< 66
3.      Tingkatan menengah atas jika 66 < IPM < 80
4.      Tingkatan atas, jika IPM > 80

Berdasarkan kajian aspek tingkat pertumbuhannya IPM dapat digunakan sebagai ukuran kemajuan pembangunan, melalui dua cara, yaitu :
1.      Perbandingan antar wilayah yaitu suatu posisi relatif dari satu wilayah terhadap wilayah lain berdasarkan peringkatnya dalam suatu kawasan tertentu.
2.      Pengukuran tingkat kemajuan. Yaitu untuk mengkaji pencapaian tingkat kemajuan setelah berbagai program di implementasikan dalam suatu periode tertentu, yang dinotasikan kedalam rumus reduksi shortfall pertahun. Semakin besar reduksi shortfall disuatu wilayah menunjukkan semakin besar kemampuan yang dicapai oleh wilayah tertentu dalam periode tertentu. Kecepatan pencapaian dalam hal ini mengukur perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik idela IPM, yakni IPM =100, kecepatan pencapaian (r) terbagi kedalam 4 tingkatan :
1.      Kecepatan pencapaian sangat lambat, jika r < 1,30
2.       Kecepatan pencapaian lambat, jika 1,30< r < 1,50
3.      Kecepatan pencapaian menengah, jika 1,50 < r < 1,70
4.      Kecepatan pencapaian cepat, jika r > 1,70

Beberapa faktor rendahnya pencapaian kinerja  pendidikan disebabkan oleh :
1.      Tingkat keakuratan dan akumulasi data yang masih belum mantap dibanyak kasus, pendataan  merupakan hal yang sangat berat, sulit dikumpulkan, terlambat dan kurang valid. Sehingga melahirkan data final yang kurang akurat. Manajemen database yang belum naik, terlebih dilini bawah sekolah, kurang didukung oleh teknologi dan sumber daya yang memadai.
2.      Topografi wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, perbukitan dan daerah sulit dijangkau. Sehingga akses pendidikan masih terlalu rendah, siswa masih harus berjalan kaki sekian kilo meter.
3.      Penyebaran guru yang belum merata sesuai dengan analisi kebutuhan. Guru masih menumpuk didaerah perkotaan, sementara guru didaerah pinggiran sangat minim.
4.      Sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai, alat praktik, perpustakaan terutama di jenjang  pendidikan dasar. Keterbatasan akan akses informasi dan komunikasi dan bahkan  ketersediaan jaringan listrik yang belum ada.
5.      Pada sekolah menengah, didaerah angka putus sekolah masih cukup tinggi. Hal ini lebih dominan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial dan budaya suatu daerah. Di daerah sekolah menengah kejuruan membutuhkan  biaya operasional maupun biaya personal yang cukup tinggi, sementara siswa yang di SMK menurut pengamatan penulis banyak pula masyarakat yang berpenghasilan rendah.
6.      Angka melek huruf merupakan faktor sangat penting. Angka ini merupakan indikator kinerja kunci dibidang pendidikan.
B.   PENELITIAN YANG RELEVAN
Studi  mengenai penduduk buta huruf di indonesia telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Berikut adalah penelitian-penelitian sejenis yang menjadi referensi dalam penelitian ini :
1.      Amanda tiara pravitasary, dkk melakukan penelitian mengenai pemodelan faktor –faktor yang berpengaruh terhadap angka buta huruf di provinsi jawa barat dengan geographically weighted logistic regression. (prosiding penelitian spesia 2015)
2.      Novi Widiastuti 2013 Penerapan metode pembelajaran transliterasi dalam meningkatkan hasil belajar keaksaraan (sumber : reporsitory.upi.edu)
3.      Atik Ismuningsih faktor pertumbuhan penduduk, tingkat melek huruf, dan distribusi pendapatan terhadap kemiskinan di provinsi DIY , 2004-2009

C.    KERANGKA BERPIKIR
Angka melek huruf adalah proposisi penduduk usia 15 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca/ditulisnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas. Sedangkan Angka buta huruf adalah proposisi penduduk usia 15 tahun keatas yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas. Perbandingan persentase penduduk buta huruf berusia 15 + tahun 2012 dengan tahun 2013 adalah membandingkan proposisi penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2012 dengan 2013 yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lain. Hal ini untuk melihat pencapaian indikator yang telah dicapai oleh suatu daerah, karena membaca merupakan dasar utama dalam memperluas ilmu pengetahuan.
Indonesia merupakan negara yang masih tergolong penduduk buta huruf yang tinggi di setiap provinsinya. Padahal melek huruf adalah modal awal dalam memperoleh informasi didunia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan bahwa penduduk butah huruf saat ini masih belum bisa diatasi semaksimal mungkin, ditambah semakin majunya teknologi global yang membuat penduduk Indonesia semakin tergeser dari ekonomi dunia.

D.   HIPOTESIS
Berdasarkan  rumusan  masalah,  kajian  teoritis,  penelitian penelitian  yang relevan  dan  kerangka  berpikir  diatas,  maka  dapat  dikemukakan  hipotesis penelitian sebagai  jawaban  sementara  permasalahan  yang  telah  dirumuskan pada bagian pendahuluan, sebagai berikut :
1.      Perbandingan Persentase penduduk buta huruf 15+ tahun 2012 dengan 2013 dapat dipengaruhi dan mempengaruhi bidang pendidikan dan pembangunan sebuah Negara
2.      Persentase penduduk buta huruf yang tinggi secara dominan dipengaruhi oleh kondisi pendidikan (banyaknya angka putus sekolah di usia 15+)

BAB III
METODE PENELITIAN

A.     Metode Dasar

Penelitian ini menggunakan pendekatakan kuantitatif dengan metode dasar survei. Metode survei adalah metode yang bertujuan mengambil sejumlah besar data dengan mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data tersebut. Dalam metode survei juga dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa mendatang.

B.     Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2015 sampai bulan Januari 2016.

C.    Jenis dan Sumber Data

1.      Data Primer
Pengambilan data primer yang diambil langsung dari sumbernya, diperoleh dari responden di lapangan. Data primer yang dibutuhkan misalnya data buta huruf diambil dari sebagian narasumber yang terdapat dalam masyarakat diberbagai daerah.



2.      Data Sekunder
Data sekunder diambil pengumumpulan informasi-infomarsi, arsip, data-data hasil perhitungan dan sejenisnya yang dimiliki oleh instansi-intansi terkait. Data sekunder yang dibutuhkan misalnya data diperoleh dari instansi resmi pemerintah daerah dalam penghitungan penduduk buta huruf dan buku-buku maupun dokumen resmi yang telah teruji kebenarannya serta diperoleh dari instansi terkait yang dapat di percaya kebenarannya.

3.      Cara Pengambilan Data
Cara pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
·           Teknik Wawancara

Wawancara sering digunakan dalam metode penelitian survei, merupakan bentuk komunikasi verbal, percakapan untuk dapat mengumpulkan informasi. Metode wawancara ini dengan acuan kuisioner yang telah dibuat. Data yang diambil dengan teknik ini yaitu meliputi karakteristik responden (nama, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok, jumlah anggota keluarga dan lain-lain).
Teknik pengambilan sample yang dilakukan denganteknik purposive sampling, yaitu dengan dilakukan secara sengaja dimana peneliti menentukan sendiri sample yang diambil dengan pertimbangan tertentu. Sampel atau responden yang ditentukan terdiri dari Masyarakat. Jumlah responden ditentukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan penelitian akan data dan waktu, biaya dan tenaga yang terbatas.

·         Content Analysis

Weber (dalam Zulfahmi, 2010) menjelaskan bahwa analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Metode analisis ini digunakan dengan mempertimbangkan jenis data dan informasi yang dioleh berupa dokumen resmi atau transkrip wawancara. Analisis ini dilakukan untuk membantu dalam mengolah data dan informasi yang didapatkan menjadi temuan studi yang mengarahkan pada penyimpulan hasil analisis stakeholder mengenai perbandingan presentase penduduk buta huruf di Indonesia.

4.      Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dinyatakan sebelumnya. Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan mengelompokannya dalam suatu bentuk yang mudah dibaca atau diterapkan (Silalahi, 2009).


5.      Teknik Validasi Data
Validasi data diperoleh dengan cara intepretasi data yang telah di analisis oleh program tertentu, kemudian mencoba menghubungkan keadaan awal data dengan hasil analisis data.




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.               HASIL PENELITIAN
PERBANDINGAN PRESENTASI PENDUDUK BUTA HURUF DI INDONESIA YANG BERUSIA 15 + 
Provinsi
15+
45+
2007
2008
2009
2010
2011**)
2012
2013
2006
2007
2008
2009
2010
2011**)
2012
2013
















Aceh
  5.49
  4.06
  3.61
  3.12
  4.37
  3.96
  3.34
  14.81
  14.48
  11.71
  10.79
  9.30
  12.55
  11.74
  10.49
Sumatera Utara
  3.27
  2.96
  2.85
  2.68
  3.22
  2.69
  2.19
  7.90
  7.41
  7.85
  7.80
  7.65
  6.80
  6.30
  5.09
Sumatera Barat
  3.90
  3.34
  3.19
  2.91
  3.88
  3.38
  2.62
  9.43
  7.97
  7.99
  7.68
  7.29
  8.79
  7.80
  6.40
R i a u
  2.72
  2.24
  1.89
  1.65
  2.60
  2.35
  2.12
  7.85
  6.85
  7.52
  6.40
  5.99
  7.24
  6.75
  6.49
Kepulauan Riau
  4.33
  4.19
  3.92
  2.81
  2.69
  2.40
  2.09
  15.34
  15.12
  12.60
  12.53
  11.12
  8.51
  8.40
  7.56
Jambi
  5.17
  4.69
  4.49
  4.12
  4.63
  4.21
  3.28
  13.79
  13.38
  14.01
  13.66
  12.67
  12.61
  11.32
  9.29
Sumatera Selatan
  3.34
  2.95
  2.79
  2.64
  3.48
  3.20
  2.76
  9.29
  8.05
  8.00
  8.27
  8.10
  8.96
  8.63
  7.68
Kep Bangka Belitung
  5.13
  4.66
  4.59
  4.54
  4.54
  4.30
  3.59
  12.99
  11.46
  12.00
  13.25
  14.03
  10.43
  10.74
  9.26
Bengkulu
  6.09
  5.40
  5.10
  4.70
  4.98
  4.44
  3.52
  17.08
  15.76
  16.15
  14.95
  14.27
  13.77
  12.66
  10.42
Lampung
  6.87
  6.37
  5.63
  5.36
  5.20
  5.11
  4.19
  19.64
  17.15
  18.08
  16.13
  15.53
  13.87
  13.82
  11.77
















DKI Jakarta
  1.24
  1.26
  1.06
  0.87
  1.19
  1.00
  0.86
  5.22
  3.63
  3.89
  3.07
  2.77
  3.20
  3.08
  2.71
Jawa Barat
  4.68
  4.47
  4.02
  3.82
  4.39
  4.05
  3.30
  13.03
  11.25
  11.99
  11.25
  11.54
  11.70
  10.79
  9.08
Banten
  4.76
  4.79
  4.05
  3.80
  4.16
  3.72
  3.36
  14.99
  12.94
  15.15
  13.23
  13.01
  12.70
  11.55
  11.00
Jawa Tengah
  11.38
  10.76
  10.54
  10.05
  10.25
  10.07
  8.73
  28.29
  25.13
  24.92
  24.49
  23.52
  23.41
  23.03
  20.45
DI Yogyakarta
  12.22
  10.55
  9.82
  9.16
  8.96
  8.00
  7.18
  31.34
  28.76
  24.87
  22.81
  21.95
  21.06
  19.17
  17.53
Jawa Timur
  12.58
  12.69
  12.20
  11.66
  12.20
  11.18
  9.86
  29.13
  26.48
  28.24
  27.20
  26.22
  26.86
  25.12
  22.22
















B a l i
  14.02
  13.06
  12.78
  11.60
  11.31
  10.08
  9.16
  33.18
  31.59
  30.69
  29.31
  28.40
  25.84
  24.14
  22.88
Nusa Tenggara Barat
  20.25
  20.15
  19.82
  18.95
  17.35
  17.08
  15.33
  48.03
  45.38
  47.61
  47.19
  46.33
  42.55
  42.17
  38.58
Nusa Tenggara Timur
  12.75
  12.34
  12.04
  11.41
  12.15
  11.23
  9.64
  29.04
  26.15
  28.89
  27.55
  26.70
  25.56
  23.38
  20.91
















Kalimantan Barat
  10.60
  11.48
  10.30
  9.74
  10.36
  9.28
  8.66
  27.71
  24.22
  29.83
  26.42
  25.46
  25.24
  24.33
  23.16
Kalimantan Tengah
  3.36
  2.73
  2.61
  2.52
  3.34
  2.57
  2.07
  10.74
  8.89
  8.33
  8.58
  8.54
  9.03
  6.84
  6.04
Kalimantan Selatan
  5.95
  4.92
  4.59
  4.06
  4.54
  3.80
  2.96
  14.85
  15.22
  14.54
  13.36
  12.36
  11.69
  10.78
  8.86
Kalimantan Timur
  4.30
  3.64
  3.11
  2.95
  3.32
  2.66
  2.49
  13.61
  11.93
  11.40
  9.36
  9.27
  9.18
  8.21
  7.76
















Sulawesi Utara
  1.05
  0.85
  0.78
  0.70
  1.23
  1.17
  0.87
  1.79
  1.74
  1.83
  1.62
  1.43
  2.18
  2.05
  1.66
Gorontalo
  4.25
  4.49
  4.29
  4.00
  5.39
  4.88
  3.17
  7.75
  6.63
  11.01
  9.91
  10.58
  10.52
  9.61
  7.28
Sulawesi Tengah
  5.14
  4.32
  4.22
  3.92
  5.77
  5.34
  4.05
  12.61
  11.37
  11.34
  11.07
  10.94
  12.07
  11.89
  9.30
Sulawesi Selatan
  13.76
  13.47
  12.98
  12.25
  12.34
  11.50
  9.84
  32.87
  29.49
  31.34
  30.02
  29.21
  28.00
  26.59
  23.55
Sulawesi Barat
  13.60
  12.69
  12.41
  11.52
  12.25
  11.07
  9.21
  31.57
  29.91
  28.82
  29.43
  29.29
  27.72
  25.21
  21.23
Sulawesi Tenggara
  9.50
  8.85
  8.49
  8.15
  9.21
  8.82
  7.39
  28.69
  22.94
  26.67
  25.37
  24.43
  25.12
  24.74
  21.38
















Maluku
  3.15
  2.69
  2.58
  2.54
  3.41
  2.91
  2.17
  6.98
  6.19
  6.29
  5.87
  6.58
  6.94
  6.06
  4.22
Maluku Utara
  5.35
  4.56
  4.26
  3.92
  4.21
  3.65
  2.63
  14.25
  14.63
  14.70
  13.24
  13.11
  10.62
  9.65
  7.07
Papua
  24.94
  27.53
  29.71
  31.73
  35.47
  34.70
  32.69
  38.52
  32.93
  32.94
  31.70
  36.14
  38.89
  39.61
  37.22
Papua Barat
  9.68
  7.85
  7.06
  4.88
 
7.42
  6.38
  4.41
  22.65
  17.15
  16.15
  13.40
  9.91
  14.03
  12.42
  9.21
















Indonesia
  8.13
  7.81
  7.42
  7.09

 7.56
  7.03
  6.08
  21.09
  18.94
  19.59
  18.68
  18.25
  18.15
  17.17
  15.15

Catatan : * data tidak tersedia
** kenaikan angka buta huruf perbandingan tahun 2010 dan 2011 disebabkan :
1.      Perbedaan metodologi perhitungan estimasi. Pada tahun 2010, perhitungan inflate tidak didasarkan pada kelompok sedangkan pada tahun 2011, perhitungan inflatenya berdasarkan kelompok umur 5 tahunan.
2.      Pengumpulan data pada tahun 2010 dilakukan 1 (satu) kali dalam setahuan yaitu pada bulan juli, sedangkan pada triwulanan karena tahun ajaran sekolah yang dimulai pada tahun juli berakhir pada tahun juni tahun berikutnya.
3.      Data tahun 2011-2013 diestimasi dengan menggunakan inflate hasil back-casting berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035

B.     ANALISIS DATAT-TEST (PAIRED SAMPLES - T-TEST) DALAM MENGANALISIS RUMUSAN MASALAH

Hasil Analisis
Paired Samples Statistics


Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pair 1
TAHUN
1.5000
66
.50383
.06202
BUTAHURUF
6.2259
66
6.07374
.74763

Paired Samples Correlations


N
Correlation
Sig.
Pair 1
TAHUN & BUTAHURUF
66
-.079
.528



Paired Samples Test


Paired Differences
T
Df
Sig. (2-tailed)


Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference


Lower
Upper
Pair 1
TAHUN BUTA HURUF
-4.72591
6.13417
.75506
-6.23388
-3.21794
-6.259
65
.000

Histogram

HASIL PEMBAHASAN

A.   INTEPRETASI HASIL ANALISIS DATA

Berdasarkan analisis dengan Paired Samples Test dapat dilihat bahwa ada perbandingan presentase penduduk buta huruf usia 15+ tahun 2012 dengan 2013. Table pertama menunjukkan  hasil analisis statistik deskripsinya seperti rata-rata pasangan, standar deviasi, dan standar error.
Table kedua menampilkan hasil analisis korelasi antara kedua pasangan data. Koefisien korelasinya adalah sebesar –0,079 dengan sig 0.528. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pasangan data tersebut berkorelasi menampilkan hasil perbandingan presentasi penduduk buta huruf tahun 2012 dengan 2013 usia 15+.
Kemudian table ketiga menunjukkan hasil pengujian ditemukan bahwa nilai t sebesar -6.259 dengan sig (2 tailed) 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbandingan presentasi penduduk buta huruf antara tahun 2012 dengan 2013  di usia 15+ dan oleh karena nilai t yang ditemukan negatif, maka hal ini menunjukkan bahwa presentasi penduduk buta huruf tahun 2013 lebih kecil daripada tahun 2012.

B.     DISKRIPSI PEMBAHASAN

Dari data penelitian yang telah penulis lakukan, dapat dilihat persentase penduduk buta huruf di Indonesia  masih tinggi. Sejumlah provinsi dengan tingkat penyandang buta huruf cukup tinggi diantaranya adalah Papua, Sulawesi Barat, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa faktor penyebab penduduk buta huruf di Indonesia adalah :
1.            Kurangnya pasrtisipasi bersekolah atau putus sekolah yang dilakukan anak sebab faktor ekonomi dan budaya.
2.            Kesmiskinan. Faktor ini membuat seseorang menjadi buta huruf karena untuk makan sehari-hari juga masih sulit apalagi untuk mengenyam bangku sekolah.
3.            Jauh dengan Layanan Pendidikan. Layanan pendidikan yang jauh menyebabkan seseorang sulit untuk menjalankan dalam mengeyam pendidikan. Daerah terpencil yang jauh dari sekolah membuat seseorang untuk berfikir ulang apabila ingin melajutkan sekolah.
4.            Faktor budaya dan orang tua. masih banyaknya budaya dan orang tua mengnggap bahwa sekolah adalah perbuatan yang sia-sia, todak penting dan lebih baik menyuruh mereka untuk berjualan ataupun bahkan berladang untuk membantu ekonomi orang tua.
Angka Buta Huruf menunjukkan ketertinggalan sekelompok penduduk tertentu dalam mencapai pendidikan. Cerminan besar kecilnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan penduduknya . Angka Putus Sekolah mencerminkan anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu . Hal ini sering digunakan sebagai salah satu indikator berhasil/tidaknya pembangunan di bidang pendidikan.
Penyebab utama putus sekolah antara lain:
      Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak sebagai investasi masa depannya;
      kondisi ekonomi orang tua yang miskin; dan
      Keadaan geografis yang kurang menguntungkan.

Solusi Penyelesaian Penduduk Buta Huruf
Penduduk buta huruf dapat diselesaikan dengan berbagai cara, seperti berikut :
1.      Mengurangi jumlah anak yang tidak bersekolah.
2.      Membuat metode pembelajaran yang menyenangkan agar peserta didik tidak merasa bosan denga materi yang diajarkan.
3.      Adanya niat baik dan sungguh-sungguh yang dilakukan pemerintah.
4.      Pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk keberhasilan pelaksanaan program pengentasan buta huruf.
5.      Pemerintah bekerjasama dengan dinas pendidikan dimana upaya pemberantasan buta huruf dilaksanakan oleh perguruan tinggi, terutama oleh mahasiswa. Sebab mahasiswa memiliki kemampuan akademis dan usia yang masih muda, sehingga mempunyai idealism yang tinggi.
6.      Pemerintah mengeluarkan instruksi presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun dan pemberantasan buta huruf.
7.      Pemerintah menerapkan strategi untuk pemberantasan buta huruf seperti yang diusulkan oleh UNESCO, yaitu pemetaan jumlah penyandang buta huruf secara tepat, perluasan informasi dan sosialisasi pentingnya melek huruf, pemberdayaan sekolah formal dan non formal bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat.
8.      Sosialisasi program pendidikan keaksaraan kepada masyarakat luas, terutama pada masyarakat pedesaan agar jumlah penduduk buta huruf menurunkan melalui berbagai media.
9.      Memperbesar alokasi dana penuntasan buta huruf pada APBN dan APBD yang saat ini terkesan sangat kecil.
10.  Mempersiapkan dan meningkatkan kapasitas penyelenggara pendidikan keaksaraan fungsional seperti ketenagaan, baik tenaga pelaksana maupun tutor, meningkatkan insentif atau kesejahteraan bagi pelaksana dan penyelenggara pendidikan keaksaraan fungsional lainnya, menyediakan sarana dan prasarana pendidikan keaksaraan.
11.  Meningkatkan kinerja pendidikan dasar bagi kelompok usia sekolah guna menghindari penambahan jumlah buta huruf akibat bertambahnya angka putus sekolah.
12.  Menata sistem manajemen pendidikan keaksaraan fungsional yang berbasis pada masyarakat, meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
13.  Menyelenggarakan proses pembelajaran bagi orang dewasa secara efektif dan partisipatif.
Pemberantasan buta huruf tidak saja tugas pemerintah, namun tugas masyarakat luas sebagai penerus bangsa..

Dari aspek pendidikan, pemerintah mulai merintis program Wajib Belajar 12 tahun pada 2012 dengan memberikan Bantuan Operasional Siswa SMA (BOS SMA), dengan harapan tidak ada lagi remaja usia sekolah tidak bersekolah/putus sekolah. Sebab dapat dilihat bahwa penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk remaja usia 15-24 tahun. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, Jumlah angkatan kerja sebanyak 172.070.339 jiwa, 66,06 persen diantaranya adalah remaja usia 15-24 tahun, jumlah tersebut menunjukkan bahwa penduduk remaja cukup besar yang termasuk dalam angkatan kerja yang perlu ditingkatkan kualitasnya agar dapat bener-benar sebagai aset pembangunan yang potensial dalam menggerakkan perekonomian.
Secara umum jumlah angkatan kerja usia 15-24 tahun meningkat dari tahun ke tahun. Penduduk usia 15-24 tahun yang bekerja diperkotaan jauh lebih besar dibandingkan dengan diperdesaan,. Sebaliknya mereka yang mencari pekerjaan diperkotaan lebih sedikit dibandingkan mereka yang tinggal dipedesaan jiwa. Hal ini kemungkinan terjadi karena mereka yang tinggal dipedesaan kesulitan mendapatkan pekerjaan atau remaja tersebut memilih-milih lapangan pekerjaan yang sesuai/diinginkannya atau keterbatasan dalam menyediaan lapangan pekerjaan.

Dilihat dari perbandingan yang peneliti lakukan telah menunjukkan bahwa penduduk buta huruf usia 15+ dari tahun ketahun mengalami penurunan. Hal ini bisa dikatakan pemerintah berhasil dalam menyelenggarakan program-programnya untuk memberantas buta huruf. Upaya pemerintah dalam program pengentasan butra huruf ini antara lain pada tahun 2005, Depdinas telah menyusun Rencana Stategi Pembangunan Pendidikan Nasional (Restra Depdiknas) untuk tahun 2005-2009 yang menitik beratkan kepada terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai, serta terwujudnya masyarakat bangsa yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia, juga terwujudnya perekonomian yang menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan berkelanjutan, yang dilandasi keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.
Guna mewujudkan tujuan pengentasan pendidikan. Menteri pendidikan nasional pada tahun 2006 sampai sekarang menetapkan 3 pilar kebijakan pembangunan pendidikan agar setiap pengambilan keputusan dan operator pendidikan di pusat maupun daerah memiliki komitmen bersama tentang pemerataan dan perluasan akses yang diarahkan pada upaya memperluas daya tamping satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional, serta memberikan kesempatan yang sama abgi semua peserta didik dari golongan masyarakat yang berbeda, baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan tersebut ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia agar dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka pemenuhan hak warga negara terhadap pendidikan.
Dalam hal ini pendidikan sangatlah diutamakan, demi terwujudnya esensi dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sangat jelas di sini bahwa Pemerintah Indonesia sangat menjunjung tinggi pendidikan dan selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya pengentasan buta aksara, mulai dari Wajib Belajar 9 tahun hingga sekolah gratis dan program pemberantasan buta aksara yang diperuntukkan warga yang bukan anak-anak lagi. Namun pemberantasan buta aksara tidak lagi cukup pada membuat warga yang belum melek huruf  mampu membaca dan menulis. Program itu mesti diarahkan dan diintegrasikan untuk memberdayakan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Upaya pemberantasan buta aksara diintegrasikan  juga untuk membuat warga berdaya dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kehidupan berbangsa. Tantangan sekarang bukan sekadar buta aksara hilang, tapi membuat warga berdaya untuk memperbaiki taraf hidup. Sebab pemberantasan buta aksara merupakan salah satu fokus penting untuk memperbaiki indeks pembangunan manusia di tiap-tiap daerah. Berhasilnya program pemberantasan buta aksara akan membuat warga percaya diri dan berdaya untuk keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan.


BAB V
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Buta huruf adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Indonesia mempunyai banyak masyarakat yang masih buta huruf.  Angka buta huruf di Indonesia masih tergolong tinggi mengingat banyaknya angka putus sekolah serta masyarakat yang belum mampu untuk membiayai sekolah. Pemerintah sendiri mempunyai berbagai cara untuk mengurangi angka buta aksara di Indonesia. Dilihat dari perbandingan yang peneliti lakukan telah menunjukkan bahwa penduduk buta huruf usia 15+ dari tahun ketahun mengalami penurunan. Hal ini bisa dikatakan pemerintah berhasil dalam menyelenggarakan program-programnya untuk memberantas buta huruf. Seperti sekolah geratis, Beasiswa Prestasi, Dana BOS, dan sebagainya.

B.     SARAN

1.      Bagi pemerintah
Pemerintah diharapkan membuat cara strategi yang positif, seperti model pembelajaran yang menarik untuk anak dalam belajar, kemudian dalam pemberantasan buta huruf diharapkan pemerintah lebih menekankan dan menoptimalkan program-program yang telah dibuat, serta meningkatkan kinerja dalam program yang telah terlah berhasil terlaksana.

2.      Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan berfikir secara rasional bahwa melek huruf sangatlah penting bagi kehidupan mereka. kesadaran orang tua dan masyarakat dibutuhkan sebab pentingnya pendidikan anak sebagai investasi masa depannya;



























DAFTAR PUSTAKA

Lincolin Arsyad, 1997, Ekonomi Pembangunan, STIE YKPN, Yogyakarta.
Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan, UPPAMP YKPN, Yogyakarta.

Amanda tiara pravitasar. 2015. Pemodelan faktor –faktor yang berpengaruh terhadap angka buta huruf di provinsi jawa barat dengan geographically weighted logistic regression. (prosiding penelitian spesia 2015)

Novi Widiastuti 2013 Penerapan metode pembelajaran transliterasi dalam meningkatkan hasil belajar keaksaraan (sumber : reporsitory.upi.edu)

Atik Ismuningsih faktor pertumbuhan penduduk, tingkat melek huruf, dan distribusi pendapatan terhadap kemiskinan di provinsi DIY , 2004-2009. (Jurnal)

Http:// id.Wikibooks.org (diakses 24 januari 2016 pukul 09.20)
Http:// Sirusa.bps.go.id (diakses 24 januari 2016 pukul 09.40)
Http:// Bps.go.id (diakses 24 januari 2016 pukul 10.00)
Http ://Postlitbang Kependudukan BKKBN (diakses 24 januari 2016 pukul 09.20)